1. Memiliki Produk
Sebelum menjual tentunya sudah harus ada produk yang disediakan dan siap untuk dijual kepada calon calon konsumen. Produk yang akan dijual harus memiliki karakteristik tertentu misalkan, Kategori kebutuhan produk sehari hari / kebutuhan perkakas rumah / peralatan otomotif / makanan & minuman / beras / handphone & vouchernya / sembako / lain lain bahkan kombinasi dari beberapa kategori produk
2. Dikomunikasikan
Memiliki produk yang cukup, memiliki market yang potensial, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah dikomunikasikan kepada khalayak ramai, mengenai bisnis anda maupun produk yang anda tawarkan. Pentingnya aktivitas marketing seperti mengadakan event jajanan pasar kecil kecilan, seminar umum yang menarik minat masyarakat / kelas kursus singkat dan lain lain akan sangat membantu untuk menambah brand awareness di daerah yang akan anda garap. Semakin tinggi tingkat brand image / brand awareness akan suatu produk, memiliki korelasi dengan jumlah omset yang terus meningkat.
Dengan memahami pentingnya langkah langkah dasar untuk berhasil dalam bisnis retail, keuntungan dari perencanaan berbisnis dapat segera diperoleh, sukses selalu, salam luar biasa
Senin, 30 Agustus 2010
7 kiat berbisnis (meraih kesuksesan di depan mata)
posted : http://forum.vivanews.com/showthread.php?t=24868
Kita pada dasarnya cenderung enggan berbisnis, kita lebih meilih menjadi seorang pegawai negeri sipil, karyawan swasta, atau pun buruh, daripada menjadi seorang pengusha. Apalagi bagi orang yang belum pernah memulai usaha sama sekali. Ketakutan akan berbisnis menkjadi penghalang bagi kita untuk memulai. Padahal kunci utama berbisnis adalah memulai dengan rasa optimisme tinggi. Sebetulnya kesuksesan sudah ada di depan mata kita, namun kita harus berusaha dan tau bagaimana cara untuk menggapainya. Cara untuk menggapainya adalah dengan kita berusaha keras dan tidak pernah menyerah karena The Winner Never Gives Up
Ada 7 kiat agar kita mudah berbisnis :
1. Mulailah berbisnis dengan sikap optimisme
Diibaratkan kita sedang mendorong mobil yang sedang mogok, awalnya berat sekali mendorong mobil itu, tetapi ketika sudah bergerak akan terasa lebih ringan. Sama halnya dengan bisnis pasti akan terasa berat ketika akan memulai, pikiran kita dipenuhi dengan rasa khawatir tentang bagaimana kedepannya, ketakutan akan kegagalan. Lupakan hal itu, percaya pada kekuatan pikiran kita, apabila kita berfikir optimis maka akan terjadi ha-hal yang baik. Agar terasa lebih ringan mari mulailah berbisnis tanpa pikir panjang dan tanpa planning tapi dengan sikap optimisme yang kuat. Salah satu pengusaha yang pernah sukses dengan cara ini adalah Bob Sadino. Saya rasa anda sudah tahu siapa bob sadino.
2. Pelajari bisnis anda
Jangan pernah malas untuk mempelajari bidang bisnis yang sedang anda tekuni, karena dari situ anda bisa membuat produk anda lebih unggul, mempunyai ciri khas dari produk pesaing anda bila perlu lakukan riset. Jangan lupa pelajari juga seluk beluk lingkungan produk anda karena hal ini akan mempermudah anda untuk melakukan innovasi-innovasi terhadap produk sesuai yang konsemen inginkan. Tak salah juga walaupun anda baru memulai uasaha untuk mempelajari strategi-strategi dalam bisnis profesional, seperti strategi pemasaran, diferensiasi, strategi keunggulan biaya dan lainnya. Semakin banyak anda tahu, semakin banyak yang bisa anda lakukan untuk bisnis anda. Seperti halnya Bob Sadino, walaupun beliau tidak mempunyai pendidikan dalam berbisnis, tetapi beliau selalu mempelajari bisnisnya dan terus belajar hingga produknya selalu unggul.
3. Mencari pelanggan
Banyak cara untuk mencari pelanggan sebanyak-banyaknya. Cara yang baik adalah mengetahiu sifat konsumen.
Diantaranya adalah semua konsumen pasti suka dengan pelayanan yang baik. Layani konsumen dengan sebaik-baiknya, sering-sering berinteraksi dengan konsumen, bahkan kalau perlu anda kenal dengan konsumen, karena semakin dekat dengan konsumen, konsumen tidak canggung untuk mengutarakan kritik dan saran mengenai produk anda, dan itu baik untuk perbaikan produk anda.
Konsumen senang menawar
Ini penting untuk pemula, jangan mengharapkan keuntungan yang besar di awal-awal bisnis, anda harapkanlah pelanggan yang banyak. Berilah konsumen dengan harga yang ia minta namun anda juga jangan sampai mengalami kerugian, maka konsumen akan senang dan dapat dipastikan dia akan kembali untuk membeli produk anda, ini juga mempercepat produk anda dikenal oleh konsumen lain.
Itu salah satu cara untuk mencari pelanggan, dan masih banyak cara lain yang bisa anda pelajari dari buku maupun situs internet.
4. Berbisnislah dengan jujur
Kejujuran merupakan kunci kesuksesan dalam segala hal.” Ingatlah apabila anda menanam kebaikan maka anda akan menuai seribu kebaikan”. Apabila anda jujur, sekiranya anda gagal dalam bisnis ini, anda masih bisa memulai bisnis lagi dengan tenang, namun apabila anda tidak jujur dalam bisnis dan suatu ketika gagal, anda akan kesulitan memulai bisnis lagi dan bahkan mungkin anda akan hancur selamanya.
5. Buat suatu managemen bisnis anda
Apabila bisnis anda telah sukses dan semakin berkembang maka anda akan kesulitan mengatur serta mengawasi aktifitas bisnis anda apabila tidak dibuat suatu manajemen. Oleh sebab itu anda juga perlu tahu tentang manajemen bisnis.
6. Berdoa dan selalu bersyukur
Setelah anda berusaha sedemikian kerasnya anda jangan lupa bahwa yang menentukan adalah Allah SWT, sering-seringlah berdoa dan memohon kepada-Nya dan syukurilah setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita. Senantiasa selalu bersabar, karena kita dituntut untuk sabar.
7. Apabila gagal, mulailah kembali Insyaallah yang berikutnya berhasil
Dalam berbisnis pasti ada pasang surutnya, dan tak bisa dipungkiri bahwa mungkin kita akan mengalami kegagalan. “Tuhan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi tidak dijatuhkan tepat disarangnya”, sama halnya dengan kita bahwa Allah memberikan kesuksesan kepada setiap manusia, tetapi tidak langsung diberikan kepada kita melainkan kita harus berusaha untuk mencari dan menggapainya. Oleh sebab itu jangan mudah menyerah dan putus asa cobalah untuk memulai lagi dari awal, sebab pemenang tidak pernah menyerah (The Winner Never Gives Up)
Munkin tersirat dibenak anda “modal dari mana duitnya sudah habis”. Buang jauh-jauh pikiran itu sebab apabila anda benar-benar berusaha hambatan itu tak jadi masalah. Sudah banyak orang yang sukses dengan memulai bisnis tanpa uang sama sekali, juga sudah banyak referensinya di buku maupun dari internet. Contohnya seperti M Suyanto, beliau adalah ketua yayasan STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA dan pendiri puluhan perusahaan lainnya, beliau juga pernah beberapa kali mengalami kegagalan dalam berbisnis dan pernah memulai bisnis tanpa uang.
Kita pada dasarnya cenderung enggan berbisnis, kita lebih meilih menjadi seorang pegawai negeri sipil, karyawan swasta, atau pun buruh, daripada menjadi seorang pengusha. Apalagi bagi orang yang belum pernah memulai usaha sama sekali. Ketakutan akan berbisnis menkjadi penghalang bagi kita untuk memulai. Padahal kunci utama berbisnis adalah memulai dengan rasa optimisme tinggi. Sebetulnya kesuksesan sudah ada di depan mata kita, namun kita harus berusaha dan tau bagaimana cara untuk menggapainya. Cara untuk menggapainya adalah dengan kita berusaha keras dan tidak pernah menyerah karena The Winner Never Gives Up
Ada 7 kiat agar kita mudah berbisnis :
1. Mulailah berbisnis dengan sikap optimisme
Diibaratkan kita sedang mendorong mobil yang sedang mogok, awalnya berat sekali mendorong mobil itu, tetapi ketika sudah bergerak akan terasa lebih ringan. Sama halnya dengan bisnis pasti akan terasa berat ketika akan memulai, pikiran kita dipenuhi dengan rasa khawatir tentang bagaimana kedepannya, ketakutan akan kegagalan. Lupakan hal itu, percaya pada kekuatan pikiran kita, apabila kita berfikir optimis maka akan terjadi ha-hal yang baik. Agar terasa lebih ringan mari mulailah berbisnis tanpa pikir panjang dan tanpa planning tapi dengan sikap optimisme yang kuat. Salah satu pengusaha yang pernah sukses dengan cara ini adalah Bob Sadino. Saya rasa anda sudah tahu siapa bob sadino.
2. Pelajari bisnis anda
Jangan pernah malas untuk mempelajari bidang bisnis yang sedang anda tekuni, karena dari situ anda bisa membuat produk anda lebih unggul, mempunyai ciri khas dari produk pesaing anda bila perlu lakukan riset. Jangan lupa pelajari juga seluk beluk lingkungan produk anda karena hal ini akan mempermudah anda untuk melakukan innovasi-innovasi terhadap produk sesuai yang konsemen inginkan. Tak salah juga walaupun anda baru memulai uasaha untuk mempelajari strategi-strategi dalam bisnis profesional, seperti strategi pemasaran, diferensiasi, strategi keunggulan biaya dan lainnya. Semakin banyak anda tahu, semakin banyak yang bisa anda lakukan untuk bisnis anda. Seperti halnya Bob Sadino, walaupun beliau tidak mempunyai pendidikan dalam berbisnis, tetapi beliau selalu mempelajari bisnisnya dan terus belajar hingga produknya selalu unggul.
3. Mencari pelanggan
Banyak cara untuk mencari pelanggan sebanyak-banyaknya. Cara yang baik adalah mengetahiu sifat konsumen.
Diantaranya adalah semua konsumen pasti suka dengan pelayanan yang baik. Layani konsumen dengan sebaik-baiknya, sering-sering berinteraksi dengan konsumen, bahkan kalau perlu anda kenal dengan konsumen, karena semakin dekat dengan konsumen, konsumen tidak canggung untuk mengutarakan kritik dan saran mengenai produk anda, dan itu baik untuk perbaikan produk anda.
Konsumen senang menawar
Ini penting untuk pemula, jangan mengharapkan keuntungan yang besar di awal-awal bisnis, anda harapkanlah pelanggan yang banyak. Berilah konsumen dengan harga yang ia minta namun anda juga jangan sampai mengalami kerugian, maka konsumen akan senang dan dapat dipastikan dia akan kembali untuk membeli produk anda, ini juga mempercepat produk anda dikenal oleh konsumen lain.
Itu salah satu cara untuk mencari pelanggan, dan masih banyak cara lain yang bisa anda pelajari dari buku maupun situs internet.
4. Berbisnislah dengan jujur
Kejujuran merupakan kunci kesuksesan dalam segala hal.” Ingatlah apabila anda menanam kebaikan maka anda akan menuai seribu kebaikan”. Apabila anda jujur, sekiranya anda gagal dalam bisnis ini, anda masih bisa memulai bisnis lagi dengan tenang, namun apabila anda tidak jujur dalam bisnis dan suatu ketika gagal, anda akan kesulitan memulai bisnis lagi dan bahkan mungkin anda akan hancur selamanya.
5. Buat suatu managemen bisnis anda
Apabila bisnis anda telah sukses dan semakin berkembang maka anda akan kesulitan mengatur serta mengawasi aktifitas bisnis anda apabila tidak dibuat suatu manajemen. Oleh sebab itu anda juga perlu tahu tentang manajemen bisnis.
6. Berdoa dan selalu bersyukur
Setelah anda berusaha sedemikian kerasnya anda jangan lupa bahwa yang menentukan adalah Allah SWT, sering-seringlah berdoa dan memohon kepada-Nya dan syukurilah setiap nikmat yang Allah berikan kepada kita. Senantiasa selalu bersabar, karena kita dituntut untuk sabar.
7. Apabila gagal, mulailah kembali Insyaallah yang berikutnya berhasil
Dalam berbisnis pasti ada pasang surutnya, dan tak bisa dipungkiri bahwa mungkin kita akan mengalami kegagalan. “Tuhan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi tidak dijatuhkan tepat disarangnya”, sama halnya dengan kita bahwa Allah memberikan kesuksesan kepada setiap manusia, tetapi tidak langsung diberikan kepada kita melainkan kita harus berusaha untuk mencari dan menggapainya. Oleh sebab itu jangan mudah menyerah dan putus asa cobalah untuk memulai lagi dari awal, sebab pemenang tidak pernah menyerah (The Winner Never Gives Up)
Munkin tersirat dibenak anda “modal dari mana duitnya sudah habis”. Buang jauh-jauh pikiran itu sebab apabila anda benar-benar berusaha hambatan itu tak jadi masalah. Sudah banyak orang yang sukses dengan memulai bisnis tanpa uang sama sekali, juga sudah banyak referensinya di buku maupun dari internet. Contohnya seperti M Suyanto, beliau adalah ketua yayasan STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA dan pendiri puluhan perusahaan lainnya, beliau juga pernah beberapa kali mengalami kegagalan dalam berbisnis dan pernah memulai bisnis tanpa uang.
Menkopolhukam: Banyak Ormas Alergi Dibina
Ormas terlanjur alergi dengan kata 'dibina'. Padahal, "Pembinaan bukan indoktrinasi."
Senin, 30 Agustus 2010, 17:00 WIB
Elin Yunita Kristanti, Eko Huda S
Marsekal (Purn) Djoko Suyanto (Situs resmi TNI)
BERITA TERKAIT
* Tertibkan Ormas Tak Harus Revisi UU
* Mendagri Akui Masih Banyak Ormas 'Bodong'
* Kapolri: Ormas Anarkis Layak Dibekukan
* Pemerintah Minta Revisi UU Ormas
* Empat Menteri di DPR Bahas Ormas Militan
VIVAnews - Menkopolhukam, Djoko Suyanto mengatakan banyak organisasi masyarakat (ormas) yang resisten terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah.
"Banyak Ormas yang alergi dengan kata-kata pembinaan," kata Djoko Suyanto dalam rapat dengan Komisi Gabungan DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin 30 Agustus 2010.
Dia mengakui dalam era reformasi dan kebebasan, banyak ormas yang tidak mau diatur pemerintah.
Padahal, kata dia, dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas mengamanatkan Ormas diatur oleh pemerintah. "Tapi kita harus beri kesadaran dan pemahaman kepada ormas-ormas," kata dia.
Terlebih, kata dia, pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak bermaksud untuk mengekang dan memasung kehidupan Ormas tersebut. "Pembinaan bukan indoktrinasi," kata Menko Polhukam.
Menurut dia, sebagai negara hukum yang berdasarkan UUD 1945, semua ormas mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mematuhi aturan yang berlaku.
Ormas, kata dia, harus mengikuti undang-undang. "Inilah yang akan dituangkan dalam penyempurnaan UU," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fawzi mengakui banyak ormas dan LSM yang tidak terdaftar.
Sehingga, pemerintah mengalami kesulitan untuk memberi sanksi apabila ormas dan LSM itu melakukan pelanggaran.
Menurut dia perkembangan ormas dan LSM sangat pesat setelah reformasi. Jika sebelumnya, ormas yang terdaftar hanya sebanyak 3.000 ormas, maka per 2010 jumlah ormas mencapai 9.000 ormas. (umi)
• VIVAnews
Senin, 30 Agustus 2010, 17:00 WIB
Elin Yunita Kristanti, Eko Huda S
Marsekal (Purn) Djoko Suyanto (Situs resmi TNI)
BERITA TERKAIT
* Tertibkan Ormas Tak Harus Revisi UU
* Mendagri Akui Masih Banyak Ormas 'Bodong'
* Kapolri: Ormas Anarkis Layak Dibekukan
* Pemerintah Minta Revisi UU Ormas
* Empat Menteri di DPR Bahas Ormas Militan
VIVAnews - Menkopolhukam, Djoko Suyanto mengatakan banyak organisasi masyarakat (ormas) yang resisten terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah.
"Banyak Ormas yang alergi dengan kata-kata pembinaan," kata Djoko Suyanto dalam rapat dengan Komisi Gabungan DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin 30 Agustus 2010.
Dia mengakui dalam era reformasi dan kebebasan, banyak ormas yang tidak mau diatur pemerintah.
Padahal, kata dia, dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas mengamanatkan Ormas diatur oleh pemerintah. "Tapi kita harus beri kesadaran dan pemahaman kepada ormas-ormas," kata dia.
Terlebih, kata dia, pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak bermaksud untuk mengekang dan memasung kehidupan Ormas tersebut. "Pembinaan bukan indoktrinasi," kata Menko Polhukam.
Menurut dia, sebagai negara hukum yang berdasarkan UUD 1945, semua ormas mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mematuhi aturan yang berlaku.
Ormas, kata dia, harus mengikuti undang-undang. "Inilah yang akan dituangkan dalam penyempurnaan UU," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fawzi mengakui banyak ormas dan LSM yang tidak terdaftar.
Sehingga, pemerintah mengalami kesulitan untuk memberi sanksi apabila ormas dan LSM itu melakukan pelanggaran.
Menurut dia perkembangan ormas dan LSM sangat pesat setelah reformasi. Jika sebelumnya, ormas yang terdaftar hanya sebanyak 3.000 ormas, maka per 2010 jumlah ormas mencapai 9.000 ormas. (umi)
• VIVAnews
FBR Minta Diajak Bicara Soal Revisi UU Ormas
FBR mengklaim telah menghimpun masyarakat agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif.
Senin, 30 Agustus 2010, 22:23 WIB
Eko Priliawito, Fadila Fikriani Armadita
(www.fpi.or.id)
BERITA TERKAIT
* Din: Hukum Saja Ormas Jangan Dibubarkan
* DPR Minta Negara Tegas Terhadap Ormas Anarkis
* Menkopolhukam: Banyak Ormas Alergi Dibina
* Tertibkan Ormas Tak Harus Revisi UU
* Mendagri Akui Masih Banyak Ormas 'Bodong'
VIVAnews - Pengurus organisasi kemasyarakatan Forum Betawi Rembug, Junaedi, menolak tegas adanya revisi Undang-undang organisasi masyarakat. Dia mempertanyakan organisasi masyarakat seperti apa yang perlu diatur, serta bagian mana yang perlu direvisi.
"Revisi bagaimana, di tanah kita sendiri kok kita diatur," kata Junaedi, saat dihubungi VIVAnews, Senin malam.
Menurut Junaedi, seharusnya ormas dipanggil, dan ditunjukan bagian mana yang akan direvisi. "Coba diajak bicara, kita sudah menolong negara kok," cetusnya.
Menurut dia, rakyat seharusnya diberi pembelajaran, organisasi masyarakat bagaimana yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Junaedi juga mengatakan, selama ini organisasi yang diikutinya ini sudah menjalin kerjasama yang baik dengan instansi pemerintah seperti Polda Metro Jaya, dan Kementerian Dalam Negeri."Kita terdaftar kok," kata dia
Selanjutnya, kata dia, wakil rakyat seharusnya bisa melihat, dari berbagai sisi mengapa organisasi masyarakat melakukan tindakan anarkis.
"Mengapa mereka melakukan hal itu, kita harus lihat secara keseluruhan," ucap Junaedi
FBR, kata dia, selama ini telah menghimpun masyarakat sekitar agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif. "Kami sudah membantu orang-orang terdzolimi, membela orang-orang tertindas, kita ini banyak tugas," imbuhnya.
"Kalau begini siapa yang arogan? Mereka yang berdasi atau kami yang tidak berdasi?" kata dia menyayangkan.
Junaedi mengaku kecewa dengan sikap DPR. Terlebih lagi, wakil rakyat diangkat dan didukung masyarakat, termasuk FBR. "Mereka dulu kita yang dukung, sekarang sudah jadi kok begini," ujarnya.
Dalam rapat gabungan, siang tadi dengan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII, pemerintah meminta adanya revisi undang-undang ormas yang dinilai sudah kadaluarsa. Menkopolhukan, Djoko Suyanto menilai revisi tersebut dibutuhkan karena ormas kerap kali meresahkan masyarakat. (umi)
• VIVAnews
Senin, 30 Agustus 2010, 22:23 WIB
Eko Priliawito, Fadila Fikriani Armadita
(www.fpi.or.id)
BERITA TERKAIT
* Din: Hukum Saja Ormas Jangan Dibubarkan
* DPR Minta Negara Tegas Terhadap Ormas Anarkis
* Menkopolhukam: Banyak Ormas Alergi Dibina
* Tertibkan Ormas Tak Harus Revisi UU
* Mendagri Akui Masih Banyak Ormas 'Bodong'
VIVAnews - Pengurus organisasi kemasyarakatan Forum Betawi Rembug, Junaedi, menolak tegas adanya revisi Undang-undang organisasi masyarakat. Dia mempertanyakan organisasi masyarakat seperti apa yang perlu diatur, serta bagian mana yang perlu direvisi.
"Revisi bagaimana, di tanah kita sendiri kok kita diatur," kata Junaedi, saat dihubungi VIVAnews, Senin malam.
Menurut Junaedi, seharusnya ormas dipanggil, dan ditunjukan bagian mana yang akan direvisi. "Coba diajak bicara, kita sudah menolong negara kok," cetusnya.
Menurut dia, rakyat seharusnya diberi pembelajaran, organisasi masyarakat bagaimana yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Junaedi juga mengatakan, selama ini organisasi yang diikutinya ini sudah menjalin kerjasama yang baik dengan instansi pemerintah seperti Polda Metro Jaya, dan Kementerian Dalam Negeri."Kita terdaftar kok," kata dia
Selanjutnya, kata dia, wakil rakyat seharusnya bisa melihat, dari berbagai sisi mengapa organisasi masyarakat melakukan tindakan anarkis.
"Mengapa mereka melakukan hal itu, kita harus lihat secara keseluruhan," ucap Junaedi
FBR, kata dia, selama ini telah menghimpun masyarakat sekitar agar tidak terjerumus pada hal-hal negatif. "Kami sudah membantu orang-orang terdzolimi, membela orang-orang tertindas, kita ini banyak tugas," imbuhnya.
"Kalau begini siapa yang arogan? Mereka yang berdasi atau kami yang tidak berdasi?" kata dia menyayangkan.
Junaedi mengaku kecewa dengan sikap DPR. Terlebih lagi, wakil rakyat diangkat dan didukung masyarakat, termasuk FBR. "Mereka dulu kita yang dukung, sekarang sudah jadi kok begini," ujarnya.
Dalam rapat gabungan, siang tadi dengan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII, pemerintah meminta adanya revisi undang-undang ormas yang dinilai sudah kadaluarsa. Menkopolhukan, Djoko Suyanto menilai revisi tersebut dibutuhkan karena ormas kerap kali meresahkan masyarakat. (umi)
• VIVAnews
Minggu, 29 Agustus 2010
Pendidikan, Kemiskinan, dan Deprivasi Sosial
diposting dari ; http://bataviase.co.id/node/231065
31 May 2010
* Media Indonesia
* Pendidikan
Oleh Amich Alhumami
Peneliti sosial Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
BAGI anak-anak, usia sekolah semestinya menjadi masa paling menyenangkan yang penuh dengan keceriaan karena pada tahun-tahun itulah mereka mulai mengenyam pendidikan sebagai bekal menjalani kehidupan di masa depan. Pada masa itu, anak-anak pergi ke sekolah menuntut ilmu, mengolah rasa, dan mengasah keterampilan. Di bangku sekolah mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal). Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita sering membaca dan menyaksikan berita dari berbagai daerah anak-anak usia sekolah mencoba melakukan bunuh diri. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Peristiwa paling mutakhir terjadi di Pekanbaru, Riau. VVindar Kristian Waru-wu, 12, siswa SD Negeri OlOTuah Negeri, Kabupaten Siak, Riau, ditemukan meninggal gantung diri. Mental siswa dari keluarga kurang mampu yang baru lulus UASBN itu diduga tertekan karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP (Media hidonesia.com. 21/5). Pada umumnya, motif yang mendasari tindakan nekat bunuh diri di kalangan pelajar berusia belia itu lantaran tidak tahan menanggung perasaan malu, misalnya, karena tak mampu membayar MT (untuk sekolah swasta) atau iuran untuk keperluan kegiatan sekolah. Sedemikian miskin-. nya orang tua sang pelajar sehingga sekadar membayar iuran kegiatan ekstrakurikuler yang hanya berkisar Rp10.000 mereka tak mampu.
Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan bunuh diri. Kita boleh menyebut peristiwa ini sebagai tragedi karena yang melakukan tindakan percobaan bunuh diri ada-lah anak-anak usia sekolah. Sungguh, mereka mempunyai hak mutlak untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun, keluarga mereka mengalami kesulitan finansial karena tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan yang layak agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan. Namun, mereka tidak berdaya, lalu mengambil jalan pintas mengakhiri hidup.
Bagaimana kita harus menjelaskan gejala sosial abnormal ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam masyarakat kita? Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Bagaimana jalinan relasi sosial antanvarga masyarakat terbangun sehingga melahirkan peristiwa tragis itu?
Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Secara kasat mata, kita bisa melihat betapa kesenjangan ekonomi terus melebar dari tahun ke tahun. Kesenjangan ekonomi antara golongan masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin demikian nyata dan sulit dijembatani. Fakta kesenjangan ekonomi ini kemudian melahirkan apa yang disebut social derivation, yang lazim diartikan sebagai perception that one is worse off relative to those ivitli whom one compares oneself (David Myers, 1998). Suatu situasi buruk yang dialami seseorang menjadi kian memburuk ketika ia membandingkan dengan orang lain yang berada dalam situasi sebaliknya. Anak-Snak yang berasal dari keluarga miskin tak mampu menanggung beban derita kemiskinan. Beban derita itu menjadi semakinberat ketika mereka menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya dapat menjalani hidup layak bahkan bisa menikmati aneka jenis kemewahan. Siswa-siswa miskin tak punya uang yang cukup untuk membayar SPP dan membeli buku atau peralatan sekolah, bahkan terpaksa harus berjalan kaki menuju tempat sekolah karena tak ada ongkos transportasi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/ jemput, dan bepergian ke luar kota /luar negeri ketika musim liburan sekolah.
I Vpn \ .isi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat individualistis. Bila relasi sosial antarwargamasyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap ego-sentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas. Nilai kolektivitas digantikan nilai individual itas; sikap kolegialitas ditukar dengan sikap keakuan. Menurut Emile Durkheim, tatanan sosial yang tidak berasas organic solidarity, dan sebaliknya berdasar meclianic solidarity akan melemahkan ikatan sosial di antara sesama warganya. Lebih jauh lagi, guncangan pada organic solidarity akan menciptakan kondisi yang membuka peluang munculnya gejala bunuh diri. Durkheim berujar, "lt is quite certain that a consistent increase in suicides always ntlesls to a serious upheaval in the organic conditions of society." I vpn-..isi sosial ditandai empat hal penting.
Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft. Kedua, bila kohesi sosial telah memudar sehingga setiap warga masyarakat tidak lagi memiliki kekuatan perekat yang bisa menautkan di antara sesamanya. Ketiga, bila kehidupan masyarakat mengalami social detachment, yakni setiap warga masyarakat melepaskan diri dari ikatan kolektivitas sehingga menyebabkan hilangnya collective conscience. Keempat, bila setiap warga masyarakat melakukan social disas-sociation, yakni setiap warga masyarakat keluar dari ikatan kekelompokan (asosiasi) sehingga di antara mereka tidak lagi merasa memiliki kepentingan bersama.
Jika keempat karakteristik itu ditemui di dalam masyarakat, dapat dipastikan warganya dengan mudah mengalami alienasi sosial. Gejala deprivasi sosial pun akan menjadi kian menguat dan sulit diatasi. Setiap orang mempunyai daya tahan psikologis yang berbeda dalam mengatasi problem deprivasi sosial. Bagi orang yang ketahanan mentalnya lemah dengan mudah mengambil jalan pintas bunuh diri. Durkheim dalam karya klasik yang menjadi magnum opus. Suicide (1897), secara meyakinkan menulis "...people with weak social bonds are prone to self-destrnctive beluw-ior; whenever society loses wltat it normally possesses., whenever the individual disassociates himself from collective goals in order to seek only his owninterests.. suicide increases; man is the more vulnerable to self-destruction llie more he is detached from any collectivity, that is to say, the more he lives as an egoist."
Kita sungguh sedih berulang kali menyaksikan peristiwa (percobaan) bunuh diri di kalangan anak-anak usia sekolah. Kita menyadari sepenuhnya betapa kemiskinan bukan saja menjadi penghalang utama bagi seseorang untuk mendapat pendidikan, melainkan juga melahirkan deprivasi sosial. Bagi siapa saja yang mendalami sosiologi kemiskinan, dengan mudah dapat memahami mengapa masyarakat miskin sangat rentan terhadap perilaku merusak diri (self-destructivebehavior). Di sini makna esensial dan asasi tanggung jawab negara dalam memberi layanan pendidikan bagi anak-anak miskin harus diletakkan. Bila negara dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik, kita berharap perilaku sosial abnormal ini bisa dieliminasi sehingga tidak berkembang menjadi gejala umum yang berdampak negatif ganda (i) merusak jiwa dan masa depan anak; dan (ii) membahayakan ketahanan sosial masyarakat. Jika kedua hal itu dibiarkan terjadi, dapat dipastikan bahwa Indonesia memang tak bermasa depan.
Entitas terkaitApakah | Beban | David | Department | Durkheim | Fakta | Gejala | Indonesia | Kabupaten | Kemiskinan | Kesenjangan | Media | Mental | MT | Nilai | Peneliti | Peristiwa | Sedemikian | SMP | Snak | SPP | Suatu | Suicide | Tuah | UASBN | Usia | Anthropology University | Deprivasi Sosial | I Vpn | Menurut Emile | SD Negeri | United Kingdom | Vindar Kristian | Oleh Amich Alhumami |
Ringkasan Artikel Ini
Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan bunuh diri. Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/ jemput, dan bepergian ke luar kota /luar negeri ketika musim liburan sekolah. Bila relasi sosial antarwargamasyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap ego-sentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft.
Jumlah kata di Artikel : 1203
Jumlah kata di Summary : 241
Ratio : 0,200
*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.
31 May 2010
* Media Indonesia
* Pendidikan
Oleh Amich Alhumami
Peneliti sosial Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
BAGI anak-anak, usia sekolah semestinya menjadi masa paling menyenangkan yang penuh dengan keceriaan karena pada tahun-tahun itulah mereka mulai mengenyam pendidikan sebagai bekal menjalani kehidupan di masa depan. Pada masa itu, anak-anak pergi ke sekolah menuntut ilmu, mengolah rasa, dan mengasah keterampilan. Di bangku sekolah mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal). Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita sering membaca dan menyaksikan berita dari berbagai daerah anak-anak usia sekolah mencoba melakukan bunuh diri. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Peristiwa paling mutakhir terjadi di Pekanbaru, Riau. VVindar Kristian Waru-wu, 12, siswa SD Negeri OlOTuah Negeri, Kabupaten Siak, Riau, ditemukan meninggal gantung diri. Mental siswa dari keluarga kurang mampu yang baru lulus UASBN itu diduga tertekan karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP (Media hidonesia.com. 21/5). Pada umumnya, motif yang mendasari tindakan nekat bunuh diri di kalangan pelajar berusia belia itu lantaran tidak tahan menanggung perasaan malu, misalnya, karena tak mampu membayar MT (untuk sekolah swasta) atau iuran untuk keperluan kegiatan sekolah. Sedemikian miskin-. nya orang tua sang pelajar sehingga sekadar membayar iuran kegiatan ekstrakurikuler yang hanya berkisar Rp10.000 mereka tak mampu.
Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan bunuh diri. Kita boleh menyebut peristiwa ini sebagai tragedi karena yang melakukan tindakan percobaan bunuh diri ada-lah anak-anak usia sekolah. Sungguh, mereka mempunyai hak mutlak untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun, keluarga mereka mengalami kesulitan finansial karena tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan yang layak agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan. Namun, mereka tidak berdaya, lalu mengambil jalan pintas mengakhiri hidup.
Bagaimana kita harus menjelaskan gejala sosial abnormal ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam masyarakat kita? Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Bagaimana jalinan relasi sosial antanvarga masyarakat terbangun sehingga melahirkan peristiwa tragis itu?
Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Secara kasat mata, kita bisa melihat betapa kesenjangan ekonomi terus melebar dari tahun ke tahun. Kesenjangan ekonomi antara golongan masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin demikian nyata dan sulit dijembatani. Fakta kesenjangan ekonomi ini kemudian melahirkan apa yang disebut social derivation, yang lazim diartikan sebagai perception that one is worse off relative to those ivitli whom one compares oneself (David Myers, 1998). Suatu situasi buruk yang dialami seseorang menjadi kian memburuk ketika ia membandingkan dengan orang lain yang berada dalam situasi sebaliknya. Anak-Snak yang berasal dari keluarga miskin tak mampu menanggung beban derita kemiskinan. Beban derita itu menjadi semakinberat ketika mereka menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya dapat menjalani hidup layak bahkan bisa menikmati aneka jenis kemewahan. Siswa-siswa miskin tak punya uang yang cukup untuk membayar SPP dan membeli buku atau peralatan sekolah, bahkan terpaksa harus berjalan kaki menuju tempat sekolah karena tak ada ongkos transportasi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/ jemput, dan bepergian ke luar kota /luar negeri ketika musim liburan sekolah.
I Vpn \ .isi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat individualistis. Bila relasi sosial antarwargamasyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap ego-sentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas. Nilai kolektivitas digantikan nilai individual itas; sikap kolegialitas ditukar dengan sikap keakuan. Menurut Emile Durkheim, tatanan sosial yang tidak berasas organic solidarity, dan sebaliknya berdasar meclianic solidarity akan melemahkan ikatan sosial di antara sesama warganya. Lebih jauh lagi, guncangan pada organic solidarity akan menciptakan kondisi yang membuka peluang munculnya gejala bunuh diri. Durkheim berujar, "lt is quite certain that a consistent increase in suicides always ntlesls to a serious upheaval in the organic conditions of society." I vpn-..isi sosial ditandai empat hal penting.
Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft. Kedua, bila kohesi sosial telah memudar sehingga setiap warga masyarakat tidak lagi memiliki kekuatan perekat yang bisa menautkan di antara sesamanya. Ketiga, bila kehidupan masyarakat mengalami social detachment, yakni setiap warga masyarakat melepaskan diri dari ikatan kolektivitas sehingga menyebabkan hilangnya collective conscience. Keempat, bila setiap warga masyarakat melakukan social disas-sociation, yakni setiap warga masyarakat keluar dari ikatan kekelompokan (asosiasi) sehingga di antara mereka tidak lagi merasa memiliki kepentingan bersama.
Jika keempat karakteristik itu ditemui di dalam masyarakat, dapat dipastikan warganya dengan mudah mengalami alienasi sosial. Gejala deprivasi sosial pun akan menjadi kian menguat dan sulit diatasi. Setiap orang mempunyai daya tahan psikologis yang berbeda dalam mengatasi problem deprivasi sosial. Bagi orang yang ketahanan mentalnya lemah dengan mudah mengambil jalan pintas bunuh diri. Durkheim dalam karya klasik yang menjadi magnum opus. Suicide (1897), secara meyakinkan menulis "...people with weak social bonds are prone to self-destrnctive beluw-ior; whenever society loses wltat it normally possesses., whenever the individual disassociates himself from collective goals in order to seek only his owninterests.. suicide increases; man is the more vulnerable to self-destruction llie more he is detached from any collectivity, that is to say, the more he lives as an egoist."
Kita sungguh sedih berulang kali menyaksikan peristiwa (percobaan) bunuh diri di kalangan anak-anak usia sekolah. Kita menyadari sepenuhnya betapa kemiskinan bukan saja menjadi penghalang utama bagi seseorang untuk mendapat pendidikan, melainkan juga melahirkan deprivasi sosial. Bagi siapa saja yang mendalami sosiologi kemiskinan, dengan mudah dapat memahami mengapa masyarakat miskin sangat rentan terhadap perilaku merusak diri (self-destructivebehavior). Di sini makna esensial dan asasi tanggung jawab negara dalam memberi layanan pendidikan bagi anak-anak miskin harus diletakkan. Bila negara dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik, kita berharap perilaku sosial abnormal ini bisa dieliminasi sehingga tidak berkembang menjadi gejala umum yang berdampak negatif ganda (i) merusak jiwa dan masa depan anak; dan (ii) membahayakan ketahanan sosial masyarakat. Jika kedua hal itu dibiarkan terjadi, dapat dipastikan bahwa Indonesia memang tak bermasa depan.
Entitas terkaitApakah | Beban | David | Department | Durkheim | Fakta | Gejala | Indonesia | Kabupaten | Kemiskinan | Kesenjangan | Media | Mental | MT | Nilai | Peneliti | Peristiwa | Sedemikian | SMP | Snak | SPP | Suatu | Suicide | Tuah | UASBN | Usia | Anthropology University | Deprivasi Sosial | I Vpn | Menurut Emile | SD Negeri | United Kingdom | Vindar Kristian | Oleh Amich Alhumami |
Ringkasan Artikel Ini
Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan bunuh diri. Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/ jemput, dan bepergian ke luar kota /luar negeri ketika musim liburan sekolah. Bila relasi sosial antarwargamasyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap ego-sentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft.
Jumlah kata di Artikel : 1203
Jumlah kata di Summary : 241
Ratio : 0,200
*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.
Pasar dan Kaum Miskin
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/05/opini/2015075.htm
Oleh: TATA MUSTASYA
Pasar telah menjawab dan menjadi solusi bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi.
Tidak sempurna, tetapi lebih baik dibandingkan pilihan lain.
Di beberapa negara dengan ekonomi terpimpinâ?"seperti Vietnam di masa
laluâ?"orang tak semangat bekerja. Sebabnya, tidak ada keuntungan pribadi.
Insentif menggarap lahan pertanian, misalnya, amat minim karena hasil pertanian
diserahkan kepada negara. Gerak perekonomian pun menjadi lesu.
Apa yang ditulis Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations banyak terbukti. Smith menulis, Bukan pada kebaikan tukang
daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mengharapkan makanan, tetapi kepada
kepentingan pribadi mereka.
Smith menambahkan, kepentingan pribadi inilah yang berinteraksi sedemikian rupa
sehingga menghasilkan manfaat buat publik. Manfaat itu muncul tanpa
direncanakan, namun lebih efektif daripada tindakan untuk kepentingan umum
sekalipun.
Nasib kaum miskin
Sayang, mekanisme pasar hanya hirau terhadap pertumbuhan. Pasar sering abai
terhadap pemerataan. Fakta itulah yang menimpa kaum miskin di Indonesia dalam
puluhan tahun pembangunan, lebih-lebih pascareformasi politik 1998.
Kaum miskin hadir dalam jumlah yang masif, sekitar 36 juta-54 juta orang, di
tengah pembangunan ekonomi. Bersamaan dengan pemulihan ekonomi pascakrisis,
jumlah kaum miskin terus meningkat. Belum lagi derita di tingkat mikro yang
kasatmata. Di mana posisi pasar dalam persoalan ini?
Faktanya, pasar hanya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,
baik sebagai produsen maupun konsumen. Dengan kata lain, ada banyak orang yang
terekslusi. Tidak heran tanpa pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
yang memadai jutaan orang menjadi atau tetap miskin di tengah pertumbuhan
ekonomi dengan pasar sebagai mesinnya.
Pasar memiliki hukumnya sendiri, tahu siapa yang penting dan harus didahulukan.
Kepemilikan sumber daya mencakup pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
menentukan ke mana pasar akan berpihak. Kaum miskin dengan sumber daya amat
minim menjadi prioritas terakhir dari manfaat pasar.
Karena itulah ekonom Jeffrey D Sachs dalam buku The End of Poverty, How We Can
Make It Happen in Our Lifetime menegaskan, kemiskinan tidak akan hilang oleh
tangan tak kelihatan (invisible hand) dalam pasar. Perlu ada intervensi,
terutama untuk kemiskinan ekstrem atau kemiskinan kronis.
Kemalangan kaum miskin ini diperparah privatisasi pelayanan publik
pascareformasi politik 1998. Di antara implikasinya, biaya pendidikan dan
kesehatan menjadi mahal. Ekslusi kaum miskin, dengan demikian, meluas kepada
barang dan jasa publik.
Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan telah mengunci posisi kaum miskin.
Alih-alih menghilangkan jebakan kemiskinan, negara malah menciptakannya.
Lompatan kelas sosial bahkan antargenerasi sekalipun nyaris mustahil dilakukan.
Yang juga amat ganjil di Indonesia, ekonomi pasar tidak dibarengi jaminan sosial
bagi warga negara. Padahal, hal itu merupakan komplemen penting ekonomi pasar
yang berekses negatif melahirkan si kalah.
Alternatif kebijakan
Dengan segala kelemahannya, pasar tetap merupakan pilihan terbaik sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, pertumbuhan merupakan prasyarat perbaikan
kesejahteraan, termasuk bagi kaum miskin. Tinggal bagaimana agar kaum miskin
tidak ditinggalkan oleh gegap gempita pasar itu.
Model trickle-down effect yang memberikan remah-remah pembangunan kepada
masyarakat kelompok marjinal jangan diulang. Kebijakan seperti itu tidak hanya
buruk secara kemanusiaan, tetapi juga terbukti gagal memperbaiki hidup kaum
miskin.
Paling tidak, ada tiga kebijakan yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah harus
konsisten menerapkan ekonomi pasar untuk barang dan jasa. Deregulasi dan
pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap merupakan langkah
penting.
Kedua, pemerintah harus terus meningkatkan kemampuan kaum miskin untuk masuk ke
dalam pasar, baik sebagai produsen maupun konsumen. Kebijakan yang dapat
ditempuh dalam jangka pendek adalah latihan keterampilan dan kredit murah.
Dalam jangka panjang, pendidikan dan kesehatan merupakan kunci perbaikan
kehidupan kaum miskin, terutama dalam konteks antargenerasi.
Untuk itulah, layanan pendidikan dan kesehatan khusus bagi kaum miskin menjadi
keharusan. Ketiga, pemerintah harus segera memulai program jaminan sosial yang
memadai bagi kaum miskin.
Tiga hal itu mungkin dilaksanakan jika pemerintah mau melucuti kepentingan
pribadi dalam mengambil kebijakan. Jika tidak, bukan hanya pasar yang
mengabaikan kaum miskin, tetapi juga pengambil kebijakan.
TATA MUSTASYA Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute
Oleh: TATA MUSTASYA
Pasar telah menjawab dan menjadi solusi bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi.
Tidak sempurna, tetapi lebih baik dibandingkan pilihan lain.
Di beberapa negara dengan ekonomi terpimpinâ?"seperti Vietnam di masa
laluâ?"orang tak semangat bekerja. Sebabnya, tidak ada keuntungan pribadi.
Insentif menggarap lahan pertanian, misalnya, amat minim karena hasil pertanian
diserahkan kepada negara. Gerak perekonomian pun menjadi lesu.
Apa yang ditulis Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations banyak terbukti. Smith menulis, Bukan pada kebaikan tukang
daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mengharapkan makanan, tetapi kepada
kepentingan pribadi mereka.
Smith menambahkan, kepentingan pribadi inilah yang berinteraksi sedemikian rupa
sehingga menghasilkan manfaat buat publik. Manfaat itu muncul tanpa
direncanakan, namun lebih efektif daripada tindakan untuk kepentingan umum
sekalipun.
Nasib kaum miskin
Sayang, mekanisme pasar hanya hirau terhadap pertumbuhan. Pasar sering abai
terhadap pemerataan. Fakta itulah yang menimpa kaum miskin di Indonesia dalam
puluhan tahun pembangunan, lebih-lebih pascareformasi politik 1998.
Kaum miskin hadir dalam jumlah yang masif, sekitar 36 juta-54 juta orang, di
tengah pembangunan ekonomi. Bersamaan dengan pemulihan ekonomi pascakrisis,
jumlah kaum miskin terus meningkat. Belum lagi derita di tingkat mikro yang
kasatmata. Di mana posisi pasar dalam persoalan ini?
Faktanya, pasar hanya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,
baik sebagai produsen maupun konsumen. Dengan kata lain, ada banyak orang yang
terekslusi. Tidak heran tanpa pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
yang memadai jutaan orang menjadi atau tetap miskin di tengah pertumbuhan
ekonomi dengan pasar sebagai mesinnya.
Pasar memiliki hukumnya sendiri, tahu siapa yang penting dan harus didahulukan.
Kepemilikan sumber daya mencakup pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
menentukan ke mana pasar akan berpihak. Kaum miskin dengan sumber daya amat
minim menjadi prioritas terakhir dari manfaat pasar.
Karena itulah ekonom Jeffrey D Sachs dalam buku The End of Poverty, How We Can
Make It Happen in Our Lifetime menegaskan, kemiskinan tidak akan hilang oleh
tangan tak kelihatan (invisible hand) dalam pasar. Perlu ada intervensi,
terutama untuk kemiskinan ekstrem atau kemiskinan kronis.
Kemalangan kaum miskin ini diperparah privatisasi pelayanan publik
pascareformasi politik 1998. Di antara implikasinya, biaya pendidikan dan
kesehatan menjadi mahal. Ekslusi kaum miskin, dengan demikian, meluas kepada
barang dan jasa publik.
Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan telah mengunci posisi kaum miskin.
Alih-alih menghilangkan jebakan kemiskinan, negara malah menciptakannya.
Lompatan kelas sosial bahkan antargenerasi sekalipun nyaris mustahil dilakukan.
Yang juga amat ganjil di Indonesia, ekonomi pasar tidak dibarengi jaminan sosial
bagi warga negara. Padahal, hal itu merupakan komplemen penting ekonomi pasar
yang berekses negatif melahirkan si kalah.
Alternatif kebijakan
Dengan segala kelemahannya, pasar tetap merupakan pilihan terbaik sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, pertumbuhan merupakan prasyarat perbaikan
kesejahteraan, termasuk bagi kaum miskin. Tinggal bagaimana agar kaum miskin
tidak ditinggalkan oleh gegap gempita pasar itu.
Model trickle-down effect yang memberikan remah-remah pembangunan kepada
masyarakat kelompok marjinal jangan diulang. Kebijakan seperti itu tidak hanya
buruk secara kemanusiaan, tetapi juga terbukti gagal memperbaiki hidup kaum
miskin.
Paling tidak, ada tiga kebijakan yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah harus
konsisten menerapkan ekonomi pasar untuk barang dan jasa. Deregulasi dan
pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap merupakan langkah
penting.
Kedua, pemerintah harus terus meningkatkan kemampuan kaum miskin untuk masuk ke
dalam pasar, baik sebagai produsen maupun konsumen. Kebijakan yang dapat
ditempuh dalam jangka pendek adalah latihan keterampilan dan kredit murah.
Dalam jangka panjang, pendidikan dan kesehatan merupakan kunci perbaikan
kehidupan kaum miskin, terutama dalam konteks antargenerasi.
Untuk itulah, layanan pendidikan dan kesehatan khusus bagi kaum miskin menjadi
keharusan. Ketiga, pemerintah harus segera memulai program jaminan sosial yang
memadai bagi kaum miskin.
Tiga hal itu mungkin dilaksanakan jika pemerintah mau melucuti kepentingan
pribadi dalam mengambil kebijakan. Jika tidak, bukan hanya pasar yang
mengabaikan kaum miskin, tetapi juga pengambil kebijakan.
TATA MUSTASYA Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute
Politik Kartel Atau Dinasti
di posting dari Vivanews
Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi.
Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIB
Pelantikan Presiden : SBY, Budiono dan Taufik Kiemas (Vivanews/ Tri Saputro)
BERITA TERKAIT
* Menerka Jatah Menteri
VIVAnews- Pemilu 2009 sudah usai. Lembaga baru kekuasaan di republik sudah resmi bertugas: wakil rakyat sudah dilantik, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pun resmi memasuki Istana, serta kabinet baru sudah terbentuk. Meski Pemilu 2009 meninggalkan persoalan administratif, pesta demokrasi itu memberi harapan bagi kehidupan politik demokrasi di Indonesia. Catatan penting yang bisa ditarik adalah Indonesia kini mulai merintis format baru politik pasca reformasi. Tapi, ke mana kah arah poltik baru itu bergerak?
Berikut adalah catatan dari diskusi “Kecenderungan Politik Kontemporer Indonesia: Politik Kartel dan Politik Dinasti”, pada Kamis, 15 Oktober 2009 di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jalan Sawo, No.11, Menteng, Jakarta Pusat. Pengantar diskusi disampaikan Dr Kuskhirdo Ambardi, staf pengajar UGM Yogyakarta, dan Hendrik Boli Tobi dari P2D. Catatan ini diolah dari hasil diskusi, dan dimoderatori oleh Sahat C Panggabean dari Fakultas Psikologi UI, Jakarta.
***
PASCA pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.
Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.
Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.
Politik Kartel atau Dinasti?
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.
Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.
Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.
Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.
Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.
Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.
Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.
Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.
Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.
Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.
Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.
Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.
Kalaupun tidak pada diri SBY, kita berharap ada individu-individu yang duduk di legislatif yang tergugah nuraninya dan berani bersuara berbeda jika kekuasaan mulai menyimpang dari tujuan memajukan kesejahteraan umum.
• VIVAnews
Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi.
Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIB
Pelantikan Presiden : SBY, Budiono dan Taufik Kiemas (Vivanews/ Tri Saputro)
BERITA TERKAIT
* Menerka Jatah Menteri
VIVAnews- Pemilu 2009 sudah usai. Lembaga baru kekuasaan di republik sudah resmi bertugas: wakil rakyat sudah dilantik, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pun resmi memasuki Istana, serta kabinet baru sudah terbentuk. Meski Pemilu 2009 meninggalkan persoalan administratif, pesta demokrasi itu memberi harapan bagi kehidupan politik demokrasi di Indonesia. Catatan penting yang bisa ditarik adalah Indonesia kini mulai merintis format baru politik pasca reformasi. Tapi, ke mana kah arah poltik baru itu bergerak?
Berikut adalah catatan dari diskusi “Kecenderungan Politik Kontemporer Indonesia: Politik Kartel dan Politik Dinasti”, pada Kamis, 15 Oktober 2009 di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jalan Sawo, No.11, Menteng, Jakarta Pusat. Pengantar diskusi disampaikan Dr Kuskhirdo Ambardi, staf pengajar UGM Yogyakarta, dan Hendrik Boli Tobi dari P2D. Catatan ini diolah dari hasil diskusi, dan dimoderatori oleh Sahat C Panggabean dari Fakultas Psikologi UI, Jakarta.
***
PASCA pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.
Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.
Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.
Politik Kartel atau Dinasti?
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.
Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.
Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.
Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.
Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.
Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.
Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.
Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.
Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.
Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.
Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.
Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.
Kalaupun tidak pada diri SBY, kita berharap ada individu-individu yang duduk di legislatif yang tergugah nuraninya dan berani bersuara berbeda jika kekuasaan mulai menyimpang dari tujuan memajukan kesejahteraan umum.
• VIVAnews
Uang atau Memajukan Pengetahuan
Oleh : Mayling Oey-Gardiner
Tanggal 3-4 Mei 2010, saya mendapat kesempatan mewakili Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengikuti pertemuan perencanaan Konferensi Tantangan Penduduk Lansia yang akan dilangsungkan pada akhir 2010.
Konferensi tersebut akan dilaksanakan di Beijing dan New Delhi. Indonesia diundang sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia dan akan memiliki penduduk lanjut usia (lansia) yang tumbuh sangat pesat dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Konferensi ini direncanakan akan disponsori empat Akademi Ilmu Pengetahuan dari Amerika Serikat (AS), China, India, Indonesia, dan Jepang.
Pada saat pembahasan tentang banyaknya penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan negara bersangkutan, saya teringat pada nasib ilmuwan Indonesia dan kegiatan pengumpulan data oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di negara peserta ada data dari berbagai survei yang dibiayai oleh negara yang dapat diakses oleh ilmuwan dari seluruh dunia secara gratis.
Akses secara gratis tersebut kemungkinan mengembangkan dunia ilmu pengetahuan masing- masing bangsa dan dunia, menghasilkan puluhan bahkan ratusan penelitian yang berkualitas diterbitkan dalam berbagai majalah ilmiah terkemuka.
Tidak hanya ilmuwan terkenal yang mampu mengakses data tersebut, tetapi juga mahasiswa, calon ilmuwan di negara masing- masing yang relatif miskin. Itulah keuntungan dari keterbukaan akses pada data yang dikumpulkan dengan dana publik, dana rakyat pembayar pajak dikembalikan lagi kepada rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat juga. Saya hanya tinggal gigit jari.
Membingungkan tatkala pimpinan pertemuan menyarankan agar pembahasan keadaan dan perkembangan lansia di Indonesia dilakukan oleh peneliti AS dengan data yang disediakan oleh suatu perusahaan AS, Indonesian Family Life Cycle, bukan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS dengan dana publik, dari rakyat, atau dari APBN.
Saya sangat tersinggung, tetapi tidak dapat berkata karena alasannya amat sederhana. Data yang dikumpulkan tentang Indonesia oleh perusahaan AS dengan dana yang sejatinya berasal dari pembayar pajak AS itu disediakan di web secara gratis.
Pada bulan Mei tahun 2010 BPS melaksanakan sensus penduduk Indonesia keenam sejak Indonesia merdeka. Sensus Penduduk 2010 ini berbeda dari sensus penduduk sebelumnya dari segi cakupan dan kelengkapan informasi yang dikumpulkan. Usaha Sensus Penduduk 2010 ini membutuhkan dana sebanyak Rp 3,3 triliun, tahun ini saja, suatu jumlah yang tidak kecil.
Di samping itu, BPS juga merencanakan pengumpulan data kependudukan melalui dua survei lain. Kedua survei tersebut merupakan kegiatan tahunan, yaitu Susenas dan Sakernas. Kedua sumber data ini biasanya sangat kaya informasi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan ketenagakerjaan.
Hasilnya merupakan informasi yang banyak ditunggu tentang kemiskinan dan ketenagakerjaan, termasuk pengangguran. Kedua survei ini juga menggunakan dana publik yang tidak sedikit.
Setelah pengumuman jumlah penduduk menurut Sensus Penduduk 2010, angka kemiskinan hasil Susenas, angka pengangguran dari Sakernas, maka beberapa tabulasi akan diterbitkan oleh BPS.
Sulit Terjangkau
Dalam suatu terbitan sebenarnya tidak terlalu banyak data yang disajikan oleh BPS, dijual dengan harga yang cukup mahal, umumnya tidak terjangkau oleh mahasiswa atau peneliti di perguruan tinggi.
Namun, lebih tidak terjangkau lagi apabila peneliti ingin melakukan analisa yang agak canggih, memerlukan apa yang disebut ”data mentah” untuk beberapa tahun. Data mentah juga dijual oleh BPS dengan struktur harga sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPS.
Bayangkan seorang peneliti ingin mengetahui perkembangan suatu gejala kependudukan dan memerlukan akses pada data mentah Susenas dan atau Sakernas untuk beberapa tahun.
Data Susenas terdiri dari dua set: kor dan modul. Kalau seorang peneliti ingin mempelajari perubahan kemiskinan yang dikaitkan dengan berbagai karakteristik penduduk serta memerlukan data kor dan modul yang memungkinkan analisa kemiskinan, ia memerlukan danaRp 30 juta hingga Rp 40 juta untuk memperoleh data mentah untuk 1 (satu) tahun saja.
Bandingkan dengan harga data mentah tersebut dengan gaji seorang dosen pegawai negeri sipil (PNS) yang telah mencapai guru besar. Umumnya, ia telah sekolah lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikan S-3, dan telah berkarya selama 20-30 tahun. Gaji dasar mereka adalah Rp 3,5 juta per bulan.
Mana lebih penting? Penerimaan PNBP hasil penjualan data oleh BPS atau kontribusi BPS kepada dunia pengetahuan dalam mencerdaskan bangsa?
Mayling Oey-Gardiner Peneliti; Ilmuwan Sosial
Sumber : Kamis, 10 Juni 2010 | 04:20 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/10/04202784/uang.atau.memajukan.pengetahuan (akses 10/06/2010 10:46:11 WIB)
Tanggal 3-4 Mei 2010, saya mendapat kesempatan mewakili Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengikuti pertemuan perencanaan Konferensi Tantangan Penduduk Lansia yang akan dilangsungkan pada akhir 2010.
Konferensi tersebut akan dilaksanakan di Beijing dan New Delhi. Indonesia diundang sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia dan akan memiliki penduduk lanjut usia (lansia) yang tumbuh sangat pesat dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Konferensi ini direncanakan akan disponsori empat Akademi Ilmu Pengetahuan dari Amerika Serikat (AS), China, India, Indonesia, dan Jepang.
Pada saat pembahasan tentang banyaknya penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan negara bersangkutan, saya teringat pada nasib ilmuwan Indonesia dan kegiatan pengumpulan data oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di negara peserta ada data dari berbagai survei yang dibiayai oleh negara yang dapat diakses oleh ilmuwan dari seluruh dunia secara gratis.
Akses secara gratis tersebut kemungkinan mengembangkan dunia ilmu pengetahuan masing- masing bangsa dan dunia, menghasilkan puluhan bahkan ratusan penelitian yang berkualitas diterbitkan dalam berbagai majalah ilmiah terkemuka.
Tidak hanya ilmuwan terkenal yang mampu mengakses data tersebut, tetapi juga mahasiswa, calon ilmuwan di negara masing- masing yang relatif miskin. Itulah keuntungan dari keterbukaan akses pada data yang dikumpulkan dengan dana publik, dana rakyat pembayar pajak dikembalikan lagi kepada rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat juga. Saya hanya tinggal gigit jari.
Membingungkan tatkala pimpinan pertemuan menyarankan agar pembahasan keadaan dan perkembangan lansia di Indonesia dilakukan oleh peneliti AS dengan data yang disediakan oleh suatu perusahaan AS, Indonesian Family Life Cycle, bukan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS dengan dana publik, dari rakyat, atau dari APBN.
Saya sangat tersinggung, tetapi tidak dapat berkata karena alasannya amat sederhana. Data yang dikumpulkan tentang Indonesia oleh perusahaan AS dengan dana yang sejatinya berasal dari pembayar pajak AS itu disediakan di web secara gratis.
Pada bulan Mei tahun 2010 BPS melaksanakan sensus penduduk Indonesia keenam sejak Indonesia merdeka. Sensus Penduduk 2010 ini berbeda dari sensus penduduk sebelumnya dari segi cakupan dan kelengkapan informasi yang dikumpulkan. Usaha Sensus Penduduk 2010 ini membutuhkan dana sebanyak Rp 3,3 triliun, tahun ini saja, suatu jumlah yang tidak kecil.
Di samping itu, BPS juga merencanakan pengumpulan data kependudukan melalui dua survei lain. Kedua survei tersebut merupakan kegiatan tahunan, yaitu Susenas dan Sakernas. Kedua sumber data ini biasanya sangat kaya informasi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan ketenagakerjaan.
Hasilnya merupakan informasi yang banyak ditunggu tentang kemiskinan dan ketenagakerjaan, termasuk pengangguran. Kedua survei ini juga menggunakan dana publik yang tidak sedikit.
Setelah pengumuman jumlah penduduk menurut Sensus Penduduk 2010, angka kemiskinan hasil Susenas, angka pengangguran dari Sakernas, maka beberapa tabulasi akan diterbitkan oleh BPS.
Sulit Terjangkau
Dalam suatu terbitan sebenarnya tidak terlalu banyak data yang disajikan oleh BPS, dijual dengan harga yang cukup mahal, umumnya tidak terjangkau oleh mahasiswa atau peneliti di perguruan tinggi.
Namun, lebih tidak terjangkau lagi apabila peneliti ingin melakukan analisa yang agak canggih, memerlukan apa yang disebut ”data mentah” untuk beberapa tahun. Data mentah juga dijual oleh BPS dengan struktur harga sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPS.
Bayangkan seorang peneliti ingin mengetahui perkembangan suatu gejala kependudukan dan memerlukan akses pada data mentah Susenas dan atau Sakernas untuk beberapa tahun.
Data Susenas terdiri dari dua set: kor dan modul. Kalau seorang peneliti ingin mempelajari perubahan kemiskinan yang dikaitkan dengan berbagai karakteristik penduduk serta memerlukan data kor dan modul yang memungkinkan analisa kemiskinan, ia memerlukan danaRp 30 juta hingga Rp 40 juta untuk memperoleh data mentah untuk 1 (satu) tahun saja.
Bandingkan dengan harga data mentah tersebut dengan gaji seorang dosen pegawai negeri sipil (PNS) yang telah mencapai guru besar. Umumnya, ia telah sekolah lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikan S-3, dan telah berkarya selama 20-30 tahun. Gaji dasar mereka adalah Rp 3,5 juta per bulan.
Mana lebih penting? Penerimaan PNBP hasil penjualan data oleh BPS atau kontribusi BPS kepada dunia pengetahuan dalam mencerdaskan bangsa?
Mayling Oey-Gardiner Peneliti; Ilmuwan Sosial
Sumber : Kamis, 10 Juni 2010 | 04:20 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/10/04202784/uang.atau.memajukan.pengetahuan (akses 10/06/2010 10:46:11 WIB)
Menggugat Makna Kemiskinan
Oleh Amich Alhumami
Selama bertahun-tahun, isu kemiskinan menjadi perhatian serius dan fokus kajian para sarjana dan perumus kebijakan publik.
Kemiskinan dianalisis dari berbagai sudut pandang dan pendekatan guna mendapatkan pemahaman yang utuh. Kemiskinan bukan gejala sederhana, pun tidak terkait ekonomi semata, tetapi saling terkait dengan masalah lain yang amat kompleks. Para sarjana mencoba merumuskan definisi baru kemiskinan dengan memberi makna melampaui pengertian konvensional yang selama ini dipahami umum.
Pengertian Kemiskinan
Pengertian konvensional kemiskinan hanya berdimensi tunggal: pendapatan kurang, distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari. Parameter pokok untuk mengetahui kekurangan pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga yang amat rendah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi.
Di sini ada dua isu sentral. Pertama, ketersediaan lapangan kerja. Kedua, upah minimum yang menjadi instrumen penting guna melihat tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Maka, pendekatan dalam memahami fenomena kemiskinan pun bervariasi.
Pertama, menggunakan model perbandingan antarlapisan sosial yang bertujuan menjelaskan fakta-fakta empiris perbedaan distribusi pendapatan berdasar kelompok masyarakat. Kedua, menerapkan model regresi guna mengukur upah pekerja berdasar teori modal manusia, merujuk pandangan ahli ekonomi ketenagakerjaan, seperti Becker (1964), Schultz (1963, 1971), dan Mincer (1974).
Pengertian konvensional kemiskinan ini lalu dikoreksi. Makna kemiskinan diperluas tak hanya menyangkut kesenjangan pendapatan. Pada pertengahan 1980-an muncul rumusan definisi baru: ”Kemiskinan harus dimaknai: orang, keluarga, dan sekelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan sumber daya—material, sosial, dan budaya—sehingga menghalangi mereka untuk dapat hidup layak menurut ukuran paling minimal di suatu negara tempat mereka bermukim” (Komisi Eropa, 1984).
Ekonom Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, tak berdayaan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan publik. Dalam situasi demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka (lihat Development as Freedom, 1999).
Perluasan Makna
Perluasan makna kemiskinan menjadi perdebatan akademik serius di kalangan para sarjana, seperti Schiller: The Economics of Poverty and Discrimination (1995), Sen: Inequality Reexamined (1992), Kanbur & Squire: The Evolution of Thinking about Poverty (2001), Danziger & Haveman: Understanding Poverty (2001), Jenkins & Micklewright: Inequality and Poverty Reexamined (2007).
Para sarjana ini menegaskan, kemiskinan bukan hanya terkait kesenjangan pendapatan atau ketidakmerataan distribusi kekayaan. Dalam membuat analisis, mereka menggunakan pendekatan multidimensional yang menjangkau aneka masalah besar di balik kesenjangan pendapatan, seperti dimensi struktural, relasi kekuasaan tak seimbang, dan sistem politik monolitik. Semua itu dipandang sebagai akar masalah yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi kekayaan dan kesejahteraan di masyarakat.
Perubahan Makna
Pemikiran para sarjana dunia itu bertemu pada satu titik: makna kemiskinan bukan lagi ketidakadilan dalam memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan konsumsi, tetapi lebih ditekankan pada pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasar, yang dimulai sejak manusia lahir. Maka, isu pemenuhan gizi bagi anak balita, kesehatan dan asupan nutrisi bagi ibu hamil, dan kecukupan pangan jadi bagian penting dalam melihat status sosial-ekonomi keluarga. Pergeseran makna kemiskinan ini jelas terlihat dalam laporan Bank Dunia, Equity and Development (2006), membahas isu pembangunan sosial dengan pendekatan lintas ilmu dan analisis multidimensional.
Maka, pengukuran kemiskinan dipandang tidak memadai lagi bila hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan per kapita atau per satuan rumah tangga. Karena itu, berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan dengan maksud menambah kemampuan daya beli masyarakat, misalnya program bantuan langsung tunai, bukan saja tidak efektif—meski dinilai sedikit membantu dalam jangka pendek—tetapi tidak menyelesaikan akar kemiskinan.
Kesenjangan pendapatan adalah gejala permukaan, sedangkan pangkal kemiskinan pada ketidakmerataan akses—problem struktural—ke sumber daya ekonomi serta penguasaan aset dan kapital oleh kelompok kecil masyarakat. Situasi timpang ini melahirkan marjinalisasi, disposesi, deprivasi, dan eksklusi sosial sehingga masalah kemiskinan tak dapat diatasi hanya melalui kebijakan sementara dan sektoral.
Kebijakan pemberantasan kemiskinan harus menyentuh akar masalah. Untuk itu, kebijakan strategis yang harus ditempuh adalah perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, pembangunan perumahan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar transaksi ekonomi dan perdagangan, serta pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas ekonomi antarwilayah.
Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology-University of Sussex, Inggris
Sumber : Kamis, 15 Oktober 2009 | 03:05 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03050830/menggugat.makna..kemiskinan. (akses 15/10/2009 10:10:49 WIB)
Selama bertahun-tahun, isu kemiskinan menjadi perhatian serius dan fokus kajian para sarjana dan perumus kebijakan publik.
Kemiskinan dianalisis dari berbagai sudut pandang dan pendekatan guna mendapatkan pemahaman yang utuh. Kemiskinan bukan gejala sederhana, pun tidak terkait ekonomi semata, tetapi saling terkait dengan masalah lain yang amat kompleks. Para sarjana mencoba merumuskan definisi baru kemiskinan dengan memberi makna melampaui pengertian konvensional yang selama ini dipahami umum.
Pengertian Kemiskinan
Pengertian konvensional kemiskinan hanya berdimensi tunggal: pendapatan kurang, distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari. Parameter pokok untuk mengetahui kekurangan pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga yang amat rendah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi.
Di sini ada dua isu sentral. Pertama, ketersediaan lapangan kerja. Kedua, upah minimum yang menjadi instrumen penting guna melihat tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Maka, pendekatan dalam memahami fenomena kemiskinan pun bervariasi.
Pertama, menggunakan model perbandingan antarlapisan sosial yang bertujuan menjelaskan fakta-fakta empiris perbedaan distribusi pendapatan berdasar kelompok masyarakat. Kedua, menerapkan model regresi guna mengukur upah pekerja berdasar teori modal manusia, merujuk pandangan ahli ekonomi ketenagakerjaan, seperti Becker (1964), Schultz (1963, 1971), dan Mincer (1974).
Pengertian konvensional kemiskinan ini lalu dikoreksi. Makna kemiskinan diperluas tak hanya menyangkut kesenjangan pendapatan. Pada pertengahan 1980-an muncul rumusan definisi baru: ”Kemiskinan harus dimaknai: orang, keluarga, dan sekelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan sumber daya—material, sosial, dan budaya—sehingga menghalangi mereka untuk dapat hidup layak menurut ukuran paling minimal di suatu negara tempat mereka bermukim” (Komisi Eropa, 1984).
Ekonom Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, tak berdayaan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan publik. Dalam situasi demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka (lihat Development as Freedom, 1999).
Perluasan Makna
Perluasan makna kemiskinan menjadi perdebatan akademik serius di kalangan para sarjana, seperti Schiller: The Economics of Poverty and Discrimination (1995), Sen: Inequality Reexamined (1992), Kanbur & Squire: The Evolution of Thinking about Poverty (2001), Danziger & Haveman: Understanding Poverty (2001), Jenkins & Micklewright: Inequality and Poverty Reexamined (2007).
Para sarjana ini menegaskan, kemiskinan bukan hanya terkait kesenjangan pendapatan atau ketidakmerataan distribusi kekayaan. Dalam membuat analisis, mereka menggunakan pendekatan multidimensional yang menjangkau aneka masalah besar di balik kesenjangan pendapatan, seperti dimensi struktural, relasi kekuasaan tak seimbang, dan sistem politik monolitik. Semua itu dipandang sebagai akar masalah yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi kekayaan dan kesejahteraan di masyarakat.
Perubahan Makna
Pemikiran para sarjana dunia itu bertemu pada satu titik: makna kemiskinan bukan lagi ketidakadilan dalam memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan konsumsi, tetapi lebih ditekankan pada pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasar, yang dimulai sejak manusia lahir. Maka, isu pemenuhan gizi bagi anak balita, kesehatan dan asupan nutrisi bagi ibu hamil, dan kecukupan pangan jadi bagian penting dalam melihat status sosial-ekonomi keluarga. Pergeseran makna kemiskinan ini jelas terlihat dalam laporan Bank Dunia, Equity and Development (2006), membahas isu pembangunan sosial dengan pendekatan lintas ilmu dan analisis multidimensional.
Maka, pengukuran kemiskinan dipandang tidak memadai lagi bila hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan per kapita atau per satuan rumah tangga. Karena itu, berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan dengan maksud menambah kemampuan daya beli masyarakat, misalnya program bantuan langsung tunai, bukan saja tidak efektif—meski dinilai sedikit membantu dalam jangka pendek—tetapi tidak menyelesaikan akar kemiskinan.
Kesenjangan pendapatan adalah gejala permukaan, sedangkan pangkal kemiskinan pada ketidakmerataan akses—problem struktural—ke sumber daya ekonomi serta penguasaan aset dan kapital oleh kelompok kecil masyarakat. Situasi timpang ini melahirkan marjinalisasi, disposesi, deprivasi, dan eksklusi sosial sehingga masalah kemiskinan tak dapat diatasi hanya melalui kebijakan sementara dan sektoral.
Kebijakan pemberantasan kemiskinan harus menyentuh akar masalah. Untuk itu, kebijakan strategis yang harus ditempuh adalah perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, pembangunan perumahan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar transaksi ekonomi dan perdagangan, serta pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas ekonomi antarwilayah.
Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology-University of Sussex, Inggris
Sumber : Kamis, 15 Oktober 2009 | 03:05 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03050830/menggugat.makna..kemiskinan. (akses 15/10/2009 10:10:49 WIB)
Kaum Miskin dan Kekayaan Sosial
Oleh : Donny Gahral Adian
Kaum miskin memang kelompok yang selalu kalah dan dipinggirkan. Penganggur, tunawisma, pengemis, pemulung, atau pekerja seks murahan senantiasa disingkirkan secara sosial.
Kaum miskin secara diam-diam hendak dihilangkan secara sosial sebab mereka bukan subyek produksi sosial. Mereka pun dikucilkan secara sosial dan dibiarkan telanjang dan rapuh tanpa perlindungan sosial. Alasannya sederhana. Kaum miskin bukan buruh upahan sehingga tidak ada premi yang dapat ditarik untuk mengasuransikan mereka.
Alih-alih perlindungan, mereka justru mengalami penggusuran, penangkapan, dan berbagai bentuk rehabilitasi semu yang hanya memperburuk keadaan. Tulisan ini manifesto pembelaan terhadap kaum miskin. Kaum yang sudah cukup lama dilarang berharap di republik ini.
Menolak Demonisasi
Pemahaman kita tentang kaum miskin tidak dapat dilepaskan dari filosofi tentang buruh, kerja, dan nilai. Marx menganggap kaum miskin parasit sosial yang merugikan. Di satu sisi, kaum miskin dianggap kelompok berbahaya karena mereka parasit sosial yang tidak produktif. Pencoleng, pekerja seks, pencandu narkoba, dan sejenisnya adalah kelompok yang membahayakan secara politik karena tidak terorganisasi, tak dapat diprediksi, dan cenderung reaksioner. Kata ”lumpenproletariat” pun dipakai untuk mendemonisasi kaum miskin secara keseluruhan.
Di sisi lain, kaum miskin dianggap tenaga cadangan bagi industri. Kaum miskin adalah tenaga cadangan yang sementara tidak bekerja, tetapi sewaktu-waktu dapat diintegrasikan ke dalam produksi industrial. Kaum miskin sebagai tenaga cadangan adalah ancaman permanen bagi kelas pekerja atau buruh. Pertama, penderitaan yang dialami kaum miskin memberikan contoh yang mengerikan kepada buruh mengenai apa yang juga dapat terjadi atas mereka. Kedua, kaum miskin adalah kelebihan pasokan tenaga kerja yang dapat menurunkan upah dan sekaligus posisi tawar buruh terhadap majikannya.
Antonio Negri (2004) menolak premis Marx mengenai kaum miskin. Pertama, tenaga cadangan industri sesungguhnya sudah tidak ada lagi mengingat buruh tidak lagi membentuk kesatuan yang padat dan koheren. Buruh industri saat ini hanyalah satu jenis kerja di antara berbagai jenis lainnya di dalam jejaring yang dimaknai oleh paradigma imaterial. Keterbelahan sosial antara buruh dan penganggur menjadi semakin sumir. Di epos pasca-Fordisme seperti sekarang tidak ada lagi pekerjaan yang stabil dan terjamin. Tidak ada pekerjaan yang aman, segalanya bersifat tentatif, kontrak, outsource, dan musiman.
Kedua, tidak ada ”cadangan” dalam pengertian tenaga kerja yang berada di luar proses produksi sosial. Kaum miskin, pengangguran atau tunawisma pada dasarnya subyek yang berperan aktif dalam produksi sosial meski tidak diupah. Mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Strategi yang mereka lakoni untuk bertahan hidup sungguh luar biasa dan perlu kreativitas dan sumber daya.
Kaum miskin di sebuah desa tertinggal di Jawa Tengah, misalnya, membuat aturan memasak dengan pemakaian minyak goreng bersama. Strategi mereka untuk menghemat minyak goreng bukan sekadar memproduksi masakan, melainkan juga hubungan sosial berbasis afeksi dan solidaritas.
Kekayaan Sosial
Kaum miskin adalah antagonisme di dalam kelas buruh. Kelas buruh mematok ”kerja” sebagai kerja upahan dan mengecualikan mereka yang miskin, penganggur, atau tunawisma. Pengecualian ini terwujud dalam logika asuransi sosial. Asuransi sosial berprinsip pada kemampuan membayar (ability to pay). Mereka yang tidak mampu membayar premi berupa potongan dari upah, tidak mendapat asuransi. Dengan kata lain, penganggur, tunawisma, dan kaum miskin kota tidak berhak mendapat asuransi karena tidak berupah.
Padahal, mereka yang tidak berupah tidak dapat dikatakan tidak bekerja. Mereka adalah agen yang turut menyumbang pada kekayaan sosial yang tak terukur. Ibu miskin yang tetap berupaya memproduksi afeksi sebanyak-banyaknya bagi sang anak adalah kontributor serius bagi kenaikan kekayaan sosial tersebut. Pemulung bukan sekadar memunguti barang bekas, melainkan menciptakan kebersihan lingkungan bagi semua. Kaum miskin sesungguhnya menggenggam kekuatan yang cukup besar untuk menentang kapitalisme. Sebab, apa yang mereka produksi tidak dapat sepenuhnya diukur dan dirampas oleh kapitalisme.
Kaum miskin berhadapan langsung dengan kapitalisme yang berusaha mempribadikan produksi dan kekayaan sosial mereka. Eksploitasi kapitalistik dewasa ini adalah privatisasi sebagian atau seluruh nilai yang diproduksi secara kolektif. Solidaritas dan komunikasi pada dasarnya adalah ”yang sosial”. Namun, kapitalisme berhasil memprivatisasinya. Saat kita berobat ke rumah sakit swasta internasional, kita mendapati pelayanan afektif berlebihan. Itu bukan disebabkan sikap bawaan para pelayan kesehatan, melainkan karena rumah sakit mengorganisasi produksi afeksi secara ekonomistik. Pantai yang tadinya arena bermain publik bagi anak- anak sekarang dipagari jadi pantai pribadi milik hotel-hotel internasional. Kebahagiaan, kesehatan, perkembangan budaya anak-anak sekarang menjadi urusan pribadi, bukan lagi sosial.
Sebagai ancaman serius kapitalisme, kaum miskin lantas dijinakkan. Ada dua opsi yang diambil kapitalisme. Pertama, kaum miskin diintegrasikan secara paksa ke dalam proses produksi kapitalistik. Mereka diberi baju buruh upahan yang dapat diorganisasi dan dikendalikan. Kedua, kapitalisme memperberat syarat perekrutan sehingga kaum miskin tetap melata di jalan-jalan menunggu mati. Kapitalisme juga memakai tangan penguasa untuk menyingkirkan mereka secara sosial. Logistik bukan persoalan. Kapitalisme punya cadangan dana sosial yangdalam bahasa sekarang disebut ”tanggung jawab sosial perusahaan”.
Kaum miskin adalah kelompok yang sudah cukup lama dibisukan secara politik. Tak ada parpol yang sungguh memperjuangkan mereka. Sebab, mereka bukan isu politik yang laku dijual. Pekerja rumah tangga, misalnya, dianggap berada di luar logika buruh upahan-industrial. Akibatnya, rancangan undang-undang pekerja rumah tangga (RUU PRT) pun dikeluarkan dari program legislasi nasional. Segenap marginalisasi tersebut perlu dilawan secara politik.
Sudah saatnya kaum miskin melepaskan diri dari jerat ganda kapitalisme-negara dan memaklumatkan diri sebagai subyek politik yang berdaulat. Kekuatan produktif dan sosial mereka adalah modal untuk membentuk apa yang Negri (2004) sebut sebagai multitudo. Multitudo adalah kekuatan sosial yang cair, tetapi dahsyat sehingga tak mudah ditundukkan oleh dominasi kapitalisme-negara. Dengan kekuatan itu, kaum miskin mampu menjadi subyek politik dan merebut harapan dengan tangan mereka sendiri. Kaum miskin sedunia, bersatulah!
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
Sumber : Jumat, 18 Juni 2010 | 04:47 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/18/04472395/kaum.miskin.dan.kekayaan.sosial (akses 18/06/2010 12:01:43 WIB)
Kaum miskin memang kelompok yang selalu kalah dan dipinggirkan. Penganggur, tunawisma, pengemis, pemulung, atau pekerja seks murahan senantiasa disingkirkan secara sosial.
Kaum miskin secara diam-diam hendak dihilangkan secara sosial sebab mereka bukan subyek produksi sosial. Mereka pun dikucilkan secara sosial dan dibiarkan telanjang dan rapuh tanpa perlindungan sosial. Alasannya sederhana. Kaum miskin bukan buruh upahan sehingga tidak ada premi yang dapat ditarik untuk mengasuransikan mereka.
Alih-alih perlindungan, mereka justru mengalami penggusuran, penangkapan, dan berbagai bentuk rehabilitasi semu yang hanya memperburuk keadaan. Tulisan ini manifesto pembelaan terhadap kaum miskin. Kaum yang sudah cukup lama dilarang berharap di republik ini.
Menolak Demonisasi
Pemahaman kita tentang kaum miskin tidak dapat dilepaskan dari filosofi tentang buruh, kerja, dan nilai. Marx menganggap kaum miskin parasit sosial yang merugikan. Di satu sisi, kaum miskin dianggap kelompok berbahaya karena mereka parasit sosial yang tidak produktif. Pencoleng, pekerja seks, pencandu narkoba, dan sejenisnya adalah kelompok yang membahayakan secara politik karena tidak terorganisasi, tak dapat diprediksi, dan cenderung reaksioner. Kata ”lumpenproletariat” pun dipakai untuk mendemonisasi kaum miskin secara keseluruhan.
Di sisi lain, kaum miskin dianggap tenaga cadangan bagi industri. Kaum miskin adalah tenaga cadangan yang sementara tidak bekerja, tetapi sewaktu-waktu dapat diintegrasikan ke dalam produksi industrial. Kaum miskin sebagai tenaga cadangan adalah ancaman permanen bagi kelas pekerja atau buruh. Pertama, penderitaan yang dialami kaum miskin memberikan contoh yang mengerikan kepada buruh mengenai apa yang juga dapat terjadi atas mereka. Kedua, kaum miskin adalah kelebihan pasokan tenaga kerja yang dapat menurunkan upah dan sekaligus posisi tawar buruh terhadap majikannya.
Antonio Negri (2004) menolak premis Marx mengenai kaum miskin. Pertama, tenaga cadangan industri sesungguhnya sudah tidak ada lagi mengingat buruh tidak lagi membentuk kesatuan yang padat dan koheren. Buruh industri saat ini hanyalah satu jenis kerja di antara berbagai jenis lainnya di dalam jejaring yang dimaknai oleh paradigma imaterial. Keterbelahan sosial antara buruh dan penganggur menjadi semakin sumir. Di epos pasca-Fordisme seperti sekarang tidak ada lagi pekerjaan yang stabil dan terjamin. Tidak ada pekerjaan yang aman, segalanya bersifat tentatif, kontrak, outsource, dan musiman.
Kedua, tidak ada ”cadangan” dalam pengertian tenaga kerja yang berada di luar proses produksi sosial. Kaum miskin, pengangguran atau tunawisma pada dasarnya subyek yang berperan aktif dalam produksi sosial meski tidak diupah. Mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Strategi yang mereka lakoni untuk bertahan hidup sungguh luar biasa dan perlu kreativitas dan sumber daya.
Kaum miskin di sebuah desa tertinggal di Jawa Tengah, misalnya, membuat aturan memasak dengan pemakaian minyak goreng bersama. Strategi mereka untuk menghemat minyak goreng bukan sekadar memproduksi masakan, melainkan juga hubungan sosial berbasis afeksi dan solidaritas.
Kekayaan Sosial
Kaum miskin adalah antagonisme di dalam kelas buruh. Kelas buruh mematok ”kerja” sebagai kerja upahan dan mengecualikan mereka yang miskin, penganggur, atau tunawisma. Pengecualian ini terwujud dalam logika asuransi sosial. Asuransi sosial berprinsip pada kemampuan membayar (ability to pay). Mereka yang tidak mampu membayar premi berupa potongan dari upah, tidak mendapat asuransi. Dengan kata lain, penganggur, tunawisma, dan kaum miskin kota tidak berhak mendapat asuransi karena tidak berupah.
Padahal, mereka yang tidak berupah tidak dapat dikatakan tidak bekerja. Mereka adalah agen yang turut menyumbang pada kekayaan sosial yang tak terukur. Ibu miskin yang tetap berupaya memproduksi afeksi sebanyak-banyaknya bagi sang anak adalah kontributor serius bagi kenaikan kekayaan sosial tersebut. Pemulung bukan sekadar memunguti barang bekas, melainkan menciptakan kebersihan lingkungan bagi semua. Kaum miskin sesungguhnya menggenggam kekuatan yang cukup besar untuk menentang kapitalisme. Sebab, apa yang mereka produksi tidak dapat sepenuhnya diukur dan dirampas oleh kapitalisme.
Kaum miskin berhadapan langsung dengan kapitalisme yang berusaha mempribadikan produksi dan kekayaan sosial mereka. Eksploitasi kapitalistik dewasa ini adalah privatisasi sebagian atau seluruh nilai yang diproduksi secara kolektif. Solidaritas dan komunikasi pada dasarnya adalah ”yang sosial”. Namun, kapitalisme berhasil memprivatisasinya. Saat kita berobat ke rumah sakit swasta internasional, kita mendapati pelayanan afektif berlebihan. Itu bukan disebabkan sikap bawaan para pelayan kesehatan, melainkan karena rumah sakit mengorganisasi produksi afeksi secara ekonomistik. Pantai yang tadinya arena bermain publik bagi anak- anak sekarang dipagari jadi pantai pribadi milik hotel-hotel internasional. Kebahagiaan, kesehatan, perkembangan budaya anak-anak sekarang menjadi urusan pribadi, bukan lagi sosial.
Sebagai ancaman serius kapitalisme, kaum miskin lantas dijinakkan. Ada dua opsi yang diambil kapitalisme. Pertama, kaum miskin diintegrasikan secara paksa ke dalam proses produksi kapitalistik. Mereka diberi baju buruh upahan yang dapat diorganisasi dan dikendalikan. Kedua, kapitalisme memperberat syarat perekrutan sehingga kaum miskin tetap melata di jalan-jalan menunggu mati. Kapitalisme juga memakai tangan penguasa untuk menyingkirkan mereka secara sosial. Logistik bukan persoalan. Kapitalisme punya cadangan dana sosial yangdalam bahasa sekarang disebut ”tanggung jawab sosial perusahaan”.
Kaum miskin adalah kelompok yang sudah cukup lama dibisukan secara politik. Tak ada parpol yang sungguh memperjuangkan mereka. Sebab, mereka bukan isu politik yang laku dijual. Pekerja rumah tangga, misalnya, dianggap berada di luar logika buruh upahan-industrial. Akibatnya, rancangan undang-undang pekerja rumah tangga (RUU PRT) pun dikeluarkan dari program legislasi nasional. Segenap marginalisasi tersebut perlu dilawan secara politik.
Sudah saatnya kaum miskin melepaskan diri dari jerat ganda kapitalisme-negara dan memaklumatkan diri sebagai subyek politik yang berdaulat. Kekuatan produktif dan sosial mereka adalah modal untuk membentuk apa yang Negri (2004) sebut sebagai multitudo. Multitudo adalah kekuatan sosial yang cair, tetapi dahsyat sehingga tak mudah ditundukkan oleh dominasi kapitalisme-negara. Dengan kekuatan itu, kaum miskin mampu menjadi subyek politik dan merebut harapan dengan tangan mereka sendiri. Kaum miskin sedunia, bersatulah!
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia
Sumber : Jumat, 18 Juni 2010 | 04:47 WIB, http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/18/04472395/kaum.miskin.dan.kekayaan.sosial (akses 18/06/2010 12:01:43 WIB)
Telaah Kritis Problematika Pemiskinan atas kebijakan negara
Ada ungkapan mengatakan, ketika kita berada di sebuah tempat luas yang dipenuhi kegelapan dan kekelaman, paling tidak kita perlu seribu lilin/sumber cahaya yang harus disediakan agar seluruh tempat tersebut bisa terlihat. Ungkapan ini tepat kita kaitkan dengan situasi bangsa dan masyarakat saat ini, yang coba disikapi dengan pelbagai upaya dan usaha untuk mengatasi masalah kemiskinan (pemiskinan) yang tak kunjung selesai. Memang sangat ironis, di balik kekayaan sumber penghidupan rakyat yang melimpah, negeri ini menyimpan wajah kelam dan hitam, sebagian besar warga atau masyarakat masih dirundung ketidakberdayaan (powerless) dan ketidakbahagiaan (unhappiness).
Secara kuantitatif, menurut data BPS tahun 2008, sekitar 34,96 juta penduduk Indonesia masih berada di garis hitam kemiskinan akibat pemiskinan, bahkan menurut catatan The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2009(2) angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai sekitar 40 juta jiwa. Kemungkinan juga angka ini bisa bertambah seiring dengan dinamika bencana ekologis yang terus mendera negara ini.
Jika kita periksa, ada kecenderungan upaya penanggulangan kemiskinan berbanding terbalik dengan peningkatan capaian yang dihasilkan. Ketidakselarasan ini bisa kita identifikasi dari kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan. Ada paradoks kebijakan yang terjadi. Ada kebijakan ganda yang sifatnya kontraproduktif, dan kebijakan satu sama lainnya saling menegasikan bahkan memperparah situasi. Prosentase peningkatan pengurangan angka kemiskinan atau pemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia lebih rendah dibanding negara negara miskin Bangladesh. Setiap tahun, angka kemiskinan di Bangladesh berkurang sekitar 9% lebih tinggi dibanding Indoensia yang hanya 2,5%-5%.(3)
Selama kurun 5 tahun ke belakang, kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia sudah termuat dalam kerangka RPJMN 2004-2009. Namun seperti yang diungkapkan Ichsanudin Noorsy (2007)(4) bahwa program-program yang terdapat dalam RPJMN ini akan dipastikan gagal jika didasari konsepsi kebijakan ala neoliberal. Meski berbagai kebijakan, penataan kelembagaan dibentuk dan telah dikeluarkan beragam program seperti PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau BLT, P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis PNPM, program BOS, RASKIN, Askeskin, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dll namun belum mampu menyelesaikan permasalahan pemiskinan yang dialami oleh masyarakat.
Dalam catatan Sujana Royat (2009)(5), pada 2004, total anggaran untuk mengurangi kemiskinan mencapai Rp 19 triliun. Tahun 2005, dinaikkan menjadi Rp 24 triliun. Tahun 2006, ditingkatkan lagi menjadi Rp 41 triliun. Kemudian, tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun dan di tahun 2008 juga meningkat menjadi Rp 58 triliun. Jika kita akumulasi hampir 200 triliunan anggaran negara dikeluarkan untuk program-program tersebut. Namun, besaran itu tak sepadan dan sebanding dengan capaian yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Sri Mulyani (2009)(6) meningkatnya tingkat penangguran terbuka dari 8,3% menjadi 8,9%, tingkat penurunan yang ditargetkan awal 2010 sebesar 11,5% justru meningkat menjadi 13,5%.
Kebijakan pun tidak hanya itu saja, anggaran untuk melakukan reformasi birokrasi untuk melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah pun dikeluarkan, alhasil, angka kemiskinan tetap meningkat hingga mencapai 40 juta jiwa (INDEF, 2009), korupsi makin meluas ke tingkatan daerah, tumpang tindih kebijakan pun terjadi dan tak terhindarkan. Wajah pemiskinan pun tak berubah, tetap kelam dan semakin kelam, dan rakyat hanya menjadi objek penderita atas situasi ini.
Melakukan Pemetaan dan Evaluasi Kritis terhadap Kebijakan (Policy) Negara
Belajar dari pengalaman, kita perlu melakukan pemetaan atas situasi internal sosial secara lebih mendalam. Pemetaan bisa dilakukan dengan melakukan refleksi dan evaluasi atas 3 subtansi/ranah fundamental yang selalu menjadi instrumen atas praktik yang dilakukan yaitu ranah kebijakan, kelembagaan dan pemberdayaan (grassroot). Tiga ranah ini yang penting untuk dikaji karena ketiga ranah ini yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi dan secara langsung mempengaruhi upaya dan strategi penanggulangan pemiskinan sehingga program penanggulangan pemiskinan yang dilakukan selama ini tidak tepat sasaran, tidak bertahan lama, memaksakan dan tidak dapat diakses karena hambatan struktural. Selain itu, ada alasan lain, kemudian mengapa tiga ranah ini yang menjadi titik pijak pemeriksaan, di antaranya
1.Permasalahan kemiskinan merupakan problem struktural dan kultural yang melibatkan peran dan tanggung jawab negara dan masyarakat sehingga dimensi kebijakan baik regulasi amupun program penyelesaianya perlu diperiksa secara mendalam.
2.Desain kelembagaan adalah instrumen yang tidak bisa dipisahkan dalam skema kebijakan yang dikeluarkan. Dalam setiap kebijakan yang dirumuskan membutuhkan desain dan format kelembagaan yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan kebijakan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, beberapa kasus menunjukan, bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di daerah kurang berhasil dilakukan karena kelembagaan yang dibentuk kurang berjalan. Sehingga perlu diperiksa masalah yang muncul dalam ranah kelembagaan ini.
3.Pemberdayaan komunitas (grassroot) adalah dimensi yang selalu menjadi nilai (value) sekaligus kerangka metodologi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan selalu membutuhkan prasyarat modal sosial yang bisa menjamin keberlanjutan program yang dijalankan.
a.Evaluasi Kritis atas Ranah Kebijakan
Dalam membaca peta pemiskinan di Indonesia, pelbagai kebijakan yang telah terumuskan dan terimplementasikan adalah situasi kritis yang harus diidentifikasi, dipetakan, dikaji secara mendalam saat ini. Pemetaan atas berbagai regulasi pusat/nasional dan daerah akan membawa implikasi pada totalitas penanggulangan atau penghilangan pemiskinan yang dilakukan. Beberapa catatan-catatan reflektif yang teridentifikasi, bahwa penanggulangan kemiskinan tidak akan berjalan dengan mulus jika kebijakan-kebijakan di level pusat /nasional yang menghambat penanggulangan kemiskinan itu sendiri masih berlaku dan dijalankan. Pemetaan kebijakan dilakukan karena ada banyak kebijakan yang kemudian membatasi bahkan menghilangkan aset dan akses masyarakat (miskin) itu sendiri. Memang ada juga kebijakan-kebijakan yang mendukung tapi kebijakan tersebut tidak secara langsung bisa menjawab akar maupun dampak pemiskinan yang terjadi.
Ada banyak kebijakan perundang-undangan atau regulasi yang menghambat upaya penanggulangan kemiskinan dan kedaulatan rakyat atas berbagai sumber kehidupan masyarakat saat ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Peta Regulasi yang Menghambat
No
Jenis Kebijakan yang Dikeluarkan
Regulasi yang Berkaitan
Implikasi dari Kebijakan yang Dirumuskan dan Dikeluarkan
1 Kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam (agraria)
1. UU No.41/1999 tentang Kehutanan
2. UU No.18/2004 tentang Perkebunan
3. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air
- Isi UU ini sangat membatasi akses masyarakat untuk mengelola sumber-sumber penghidupan untuk seluas-luasnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
- Memperkuat sumber penghidupan dikuasai oleh privat dan oligarki Negara.
2 Kebijakan yang mengatur akses masyarakat terhadap modal atau keuangan
UU No.10/1998 tentang Perbankan
- UU ini mendukung praktik-praktik privatisasi.
- UU ini lebih memihak kepada pengusaha dan pemodal.
- Sistem dan aturan yang ketat dalam UU ini membatasi kelompok masyarakat dan masyarakat miskin mengakses finansial dan modal.
3 Kebijakan yang mengatur tentang penanaman modal, pertambangan minyak dan gas bumi
1. UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal
2. UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
3. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
- UU ini lebih berpihak pada pengusaha/pemodal (asing) dan menguntungkan bagi pemodal-pemodal lama dan baru yang akan melakukan investasi di Indonesia.
- Lemahnya kontrol negara atas tata kelola sumber-sumber penting kehidupan.
- Peminggiran dan penghilangan akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupannya.
4 Kebijakan pendidikan nasional
1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
- UU ini membuka ruang terjadinya praktik komersialisasi dan liberalisasi sistem sektor pendidikan.
5 Kebijakan ketenagakerjaan
UU No.1/2003 tentang Ketenagakerjaan
- UU ini belum menjamin perlakuan adil bagi para buruh.
Sebagai ilustrasi, kasus kemiskinan atau lebih tepatnya ”pemiskinan” di kawasan perkebunan dan kehutanan, salah satu faktor penyebab kemiskinan di kawasan tersebut rendahnya bahkan ketiadaan akses masyarakat terhadap basis produksi berupa tanah. Sejatinya, masyarakat (petani) yang berada di kawasan tersebut tidak bisa dipisahkan dari tanah sebagai sumber penghidupan.
Ilustrasi lainnya misalnya, di sektor ekonomi dan UKM, akses masyarakat selama ini sangat kecil dan rendah terhadap permodalan karena sistem perbankan yang masih diskriminatif terhadap usaha kelompok-kelompok usaha masyarakat. Walau ada kebijakan berupa strategi penanggulangan kemiskinan nasional (SPKN) dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan daerah (SKPD), namun kebijakan-kebijakan lainnya yang bersifat kontraproduktif jauh lebih banyak, yaitu kebijakan-kebijakan yang mengatur sektor perbankan, agraria, penanaman modal, UKM, pengelolaan sumber daya alam, kehutanan, dan perkebunan yang menjadi aras dominasi pemerintah pusat.
b. Evaluasi Kritis atas Kelembagaan
Menurut Sujana Royat (2008)(7), secara sederhana kita mengartikan kelembagaan sebagai ”aturan main” (rule of the game). Namun, sering kali kita salah kaprah menyamakan antara kelembagaan dengan organisasi, Padahal keduanya tidak identik, meski berkaitan erat. Mudahnya, kelembagaan sering kali diartikan sebagai software sedangkan organisasi hardware-nya.
Melihat begitu pentingnya peran kelembagaan, maka diperlukan sebuah pendekatan kelembagaan untuk mengatasi kemiskinan dengan menekankan pada bagaimana sumber daya sosial dapat ditumbuhkembangkan melalui perubahan dalam distribusi hak milik (property rights), batas-batas yurisdiksi dan aturan representasi untuk mengatasi kemiskinan (pemiskinan).
Merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan kelembagaan yang kuat baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu kelembagaan yang melekat pada SNPK adalah kelembagaan Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK) yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002.
Fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) adalah sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Bahkan untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.(8)
Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan.
Ada beberapa catatan-catatan evaluatif yang berkaitan dengan peranan kelembagaan terutama yang didesain oleh TKPK dalam kerangka penanggulangan kemiskinan, di antaranya :
1. Kelembagaan yang didesain TKPK masih didominasi oleh pemerintah yang satu sama lain memiliki kepentingan-kepentingan sehingga sulit untuk dikonsolidasi dan dikoordinasikan. Di level pemerintah pusat ada sekitar 22 lembaga departemen dan non departemen yang dilibatkan sementara pelibatan kelompok masyarakat atau CSO sangat minim. Di level daerah pun tidak berbeda jauh dinamikanya, Tim TKPD yang bekerja di kabupaten kota masih didominasi oleh pemerintah.
2. Kelembagaan penanggulangan kemiskinan terutama Tim TKPK masih bekerja secara parsial dan mekanis di level pemerintahan saja, padahal banyak kelembagaan-kelembagaan non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan masyarakat namun belum dilibatkan secara aktif. Saat ini, banyak lembaga-lembaga non pemerintah yang bekerja dalam konteks pemberdayaan ekonomi masyarakat (miskin/dhufa) namun kelembagaan pemerintah belum secara optimal mengadopsi praktek keberhasilannya.
3. Konsolidasi kelembagaan TKPK daerah yang lemah, hal ini ditandai dengan lemahnya sinergitas Tim TKPKD dengan SKPD di daerah untuk secara kolektif merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Beberapa kasus di Kabupaten Bandung dan Gunung Kidul, Tim TKPD begitu sulit melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk mengawal pelaksanaan perda tentang Strategi Penganggulangan Kemiskinan Daerah.
c. Evaluasi Kritis atas Pemberdayaan Masyarakat (Grassroot)
Pemberdayaan masyarakat adalah instrumen pokok dalam mengatasi permasalahan pemiskinan. Pemberdayaan masyarakat mengandung dimensi yang kompleks, secara metodologis dalam praktiknya harus dilakukan secara intergral, organik bukan parsial dan mekanis. Karena permasalahan pemiskinan adalah permasalahan struktural dan kultural maka pendekatan pemberdayaan masyarakat harus bisa memadukan dan memecahkan dua masalah utama tadi.
Dalam diskusi yang dilakukan dalam koordinasi program SAPA di Solo, Sapei Rusin menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat paling tidak mengarah pada 4 aspek yaitu tata kuasa, tata kelola, tata guna dan tata produksi. Aspek tata kuasa memastikan bahwa masyarakat atau komunitas memiliki hak kuasa atas sistem politik, ekonomi dan budaya dalam konteks pengelolaan sumber penghidupannya. Komunitas diberikan wewenang atau otoritas untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Setelah diberikan akses untuk menguasasi maka komunitas atau masyarakat harus diberikan akses untuk mengelola dan mendayagunakan segala sumber penghidupannya. Selain itu, pemerintah harus menjamin perlindungan atas tata produksi yang dilakukannya.
Ada bebarapa catatan yang bisa direkam dari praktik pemberdayaan yang dilakukan oleh pelbagai pihak yang baik pengurus negara maupun pelaku pemberdayaan masyarakat seperti kelompok masyarakat sipil, kelembagaan koperasi, organisasi masyarakat atau organisasi sektoral (tani, miskin kota dan miskin desa di antaranya adalah :
1. Pengurus negara cenderung menempatkan dan memposisikan masyarakat (kaum miskin) sebagai objek kebijakan dan pembangunan. Implikasinya adalah penguatan dan pemberdayaan masyarakat berjalan setengah-setengah, meminggirkan peranan komunitas yang relatif potensial dan telah berinisiatif melakukan upaya-upaya pemecahan masalah pemiskinan itu sendiri, pemberdayaan yang dilakukan tidak berbasis pada sistem pengetahuan yang tumbuh di masyarakat. Contoh program PNPM yang dilakukan di perdesaan telah membunuh institusi-institusi lokal yang berhasil bertahan seperti keberadaan koperasi-koperasi perdesaan yang telah diinisiasi oleh masyarakat setempat. Program PNPM justru sebaliknya, membuat kelembagaan seperti BKM dan KSM yang selama 5 tahun terbukti mengalami kegagalan.
2. Pengurus negara terjebak pada pola-pola pemberdayaan yang linier, mekanis dan parsial. Pemberdayaan seringkali terjebak pada pendekatan-pendekatan formal dan sektoral sehingga menimbulkan konflik kepentingan, terutama program-program yang dijalankan oleh SKPD yang bisa rutin dilakukan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya cukup dengan pendekatan-pendekatan karikatif atau charity seperti pemberian modal usaha, atau intevensi penyediaan anggaran belaka. Di beberapa kasus menunjukkan bahwa perlu adanya terobosan solusi dan kebijakan yang mendukung pada penjaminan akses terhadap sumber-sumber produksi seperti tanah, air dan energi.
3. Pemberdayaan masyarakat belum mendukung kerja-kerja pemberdayaan komunitas miskin yang selama ini tumbuh atas inisiatif-inisiatif (modal sosial) komunitas itu sendiri seringkali membunuh ruang-ruang dan inisiatif lokal(komunitas) yang selama ini bermunculan. Kasus PNPM di perdesaan misalnya, pembangunan kelembagaan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan ala PNPM berjalan kurang ”sebangun”, beberapa kasus di perdesaan di Kabupaten Bandung misalnya, pelaku program PNPM membuat perencanaan desa secara sendiri tanpa dikoordinasikan dan dintergrasikan dengan perencanaan pembangunan yang telah disusun oleh pemerintahan desa.
4. Pengurus negara atau publik kurang mendukung pada penyediaan sumber-sumber daya bagi pemberdayaan masyarakat yang relatif sudah berhasil untuk berkembang seperti penyediaan akses informasi, akses modal sehingaa bisa diperbanyak secara adaptif dan diperluas ruangnya. Program KUR misalnya, persyaratan yang rumit dan birokratis menghambat kelompok masyarakat yang akan berusaha atau mengembangkan usaha-usaha ekonomi potensial.
Resolusi : Menata Kembali Kebijakan Negara yang lebih Memihak
Dari catatan-catatan kritis tersebut, akar persoalan pemiskinan adalah salah urus sumber penghidupan negara yang bersumber pada kebijakan. Maka, upaya penanggulangan pemiskinan memerlukan terobosan-terobosan luar biasa yang didasari oleh kebijakan-kebijakan negara yang lebih memihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga atau rakyat (miskin), memperluas aset dan akses masyarakat (miskin) dalam tata kelola sumber daya kehidupan negara.
Ada beberapa resolusi yang bisa dijalankan yang mengarah pada penataan kebijakan negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Resolusi tersebut, yaitu :
1. Menata, mencabut dan mengubah regulasi-regulasi negara (perundang-undangan) yang menghambat pengelolaan sumber penghidupan oleh rakyat, baik regulasi sistem keuangan, sektoral maupun regulasi yang mengatur tentang tata kelola pemerintahan dan anggaran publik.
2. Pemerintah harus mendukung kelembagaan-kelembagaan masyarakat yang selama ini melakukan upaya-upaya mengatasi masalah pemiskinan, memfasilitasi kerja-kerja pemberdayaan masyarakat yang selama ini berjalan.
3. Pemerintah harus menyusun dan membuat kebijakan-kebijakan baru yang memastikan perlindungan dan mendukung entitas sosial di masyarakat dan inisiatif-inisiatif lokal di daerah yang melakukan upaya-upaya penyelesaian pemiskinan.
4. Pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran seproporsional mungkin yang bisa diakses, dikelola dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara mudah dan benar-benar menjawab permasalahan pemiskinan itu sendiri.
5. Mendesain ulang kelembagaan dan kemitraan strategis yang memastikan keberlanjutan kebijakan yang dijalankan.
Dadan Ramdan Harja adalah Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan dan Pusat Sumber Daya (P3SD) – Perkumpulan INISIATIF Bandung
Catatan kaki :
1. Catatan kecil Reflektif dalam kerangka mengkoordinasikan program penanggulangan kemiskinan di untuk merespon Permusaan Kebijakan RPJMN Tahun 2009-2015.
2. Laporan Hasil Kajian Tengah Tahun INDEF tahun 2009 dalam www.indef.org
3. Hasil Kajian Tim TKPKRI tahun 2009.
4. Judul berita evaluasi RPJMN 2004-2009 dalam http://www.suarakarya-online.com/news.
5. Sujana Royat dalam Tulisan “ Arah dan Strategi Baru dalam Penanggulangan Kemiskinan yang dimuat dalam http://catatan-sr.blogspot.com.
6. Sri Mulyani dalam pernyataan di Rapat Kerja dengan Komisi XI DPRI tahun 2009 yang dimuat dalam Harian Suara Karya Jakarta 2009
7. http://catatan-sr.blogspot.com/2008/08/fungsi-kelembagan-tkpk-dalam-pnpm.html, judul tulisan Fungsi Kelembagaan TKPK dalam Program Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri
8. http://tkpkri.org/sejarah-singkat-tim-koordinasi-penanggulangan-kemiskinan.html
Secara kuantitatif, menurut data BPS tahun 2008, sekitar 34,96 juta penduduk Indonesia masih berada di garis hitam kemiskinan akibat pemiskinan, bahkan menurut catatan The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2009(2) angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai sekitar 40 juta jiwa. Kemungkinan juga angka ini bisa bertambah seiring dengan dinamika bencana ekologis yang terus mendera negara ini.
Jika kita periksa, ada kecenderungan upaya penanggulangan kemiskinan berbanding terbalik dengan peningkatan capaian yang dihasilkan. Ketidakselarasan ini bisa kita identifikasi dari kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan. Ada paradoks kebijakan yang terjadi. Ada kebijakan ganda yang sifatnya kontraproduktif, dan kebijakan satu sama lainnya saling menegasikan bahkan memperparah situasi. Prosentase peningkatan pengurangan angka kemiskinan atau pemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia lebih rendah dibanding negara negara miskin Bangladesh. Setiap tahun, angka kemiskinan di Bangladesh berkurang sekitar 9% lebih tinggi dibanding Indoensia yang hanya 2,5%-5%.(3)
Selama kurun 5 tahun ke belakang, kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia sudah termuat dalam kerangka RPJMN 2004-2009. Namun seperti yang diungkapkan Ichsanudin Noorsy (2007)(4) bahwa program-program yang terdapat dalam RPJMN ini akan dipastikan gagal jika didasari konsepsi kebijakan ala neoliberal. Meski berbagai kebijakan, penataan kelembagaan dibentuk dan telah dikeluarkan beragam program seperti PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau BLT, P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis PNPM, program BOS, RASKIN, Askeskin, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dll namun belum mampu menyelesaikan permasalahan pemiskinan yang dialami oleh masyarakat.
Dalam catatan Sujana Royat (2009)(5), pada 2004, total anggaran untuk mengurangi kemiskinan mencapai Rp 19 triliun. Tahun 2005, dinaikkan menjadi Rp 24 triliun. Tahun 2006, ditingkatkan lagi menjadi Rp 41 triliun. Kemudian, tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun dan di tahun 2008 juga meningkat menjadi Rp 58 triliun. Jika kita akumulasi hampir 200 triliunan anggaran negara dikeluarkan untuk program-program tersebut. Namun, besaran itu tak sepadan dan sebanding dengan capaian yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Sri Mulyani (2009)(6) meningkatnya tingkat penangguran terbuka dari 8,3% menjadi 8,9%, tingkat penurunan yang ditargetkan awal 2010 sebesar 11,5% justru meningkat menjadi 13,5%.
Kebijakan pun tidak hanya itu saja, anggaran untuk melakukan reformasi birokrasi untuk melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah pun dikeluarkan, alhasil, angka kemiskinan tetap meningkat hingga mencapai 40 juta jiwa (INDEF, 2009), korupsi makin meluas ke tingkatan daerah, tumpang tindih kebijakan pun terjadi dan tak terhindarkan. Wajah pemiskinan pun tak berubah, tetap kelam dan semakin kelam, dan rakyat hanya menjadi objek penderita atas situasi ini.
Melakukan Pemetaan dan Evaluasi Kritis terhadap Kebijakan (Policy) Negara
Belajar dari pengalaman, kita perlu melakukan pemetaan atas situasi internal sosial secara lebih mendalam. Pemetaan bisa dilakukan dengan melakukan refleksi dan evaluasi atas 3 subtansi/ranah fundamental yang selalu menjadi instrumen atas praktik yang dilakukan yaitu ranah kebijakan, kelembagaan dan pemberdayaan (grassroot). Tiga ranah ini yang penting untuk dikaji karena ketiga ranah ini yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi dan secara langsung mempengaruhi upaya dan strategi penanggulangan pemiskinan sehingga program penanggulangan pemiskinan yang dilakukan selama ini tidak tepat sasaran, tidak bertahan lama, memaksakan dan tidak dapat diakses karena hambatan struktural. Selain itu, ada alasan lain, kemudian mengapa tiga ranah ini yang menjadi titik pijak pemeriksaan, di antaranya
1.Permasalahan kemiskinan merupakan problem struktural dan kultural yang melibatkan peran dan tanggung jawab negara dan masyarakat sehingga dimensi kebijakan baik regulasi amupun program penyelesaianya perlu diperiksa secara mendalam.
2.Desain kelembagaan adalah instrumen yang tidak bisa dipisahkan dalam skema kebijakan yang dikeluarkan. Dalam setiap kebijakan yang dirumuskan membutuhkan desain dan format kelembagaan yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan kebijakan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, beberapa kasus menunjukan, bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di daerah kurang berhasil dilakukan karena kelembagaan yang dibentuk kurang berjalan. Sehingga perlu diperiksa masalah yang muncul dalam ranah kelembagaan ini.
3.Pemberdayaan komunitas (grassroot) adalah dimensi yang selalu menjadi nilai (value) sekaligus kerangka metodologi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan selalu membutuhkan prasyarat modal sosial yang bisa menjamin keberlanjutan program yang dijalankan.
a.Evaluasi Kritis atas Ranah Kebijakan
Dalam membaca peta pemiskinan di Indonesia, pelbagai kebijakan yang telah terumuskan dan terimplementasikan adalah situasi kritis yang harus diidentifikasi, dipetakan, dikaji secara mendalam saat ini. Pemetaan atas berbagai regulasi pusat/nasional dan daerah akan membawa implikasi pada totalitas penanggulangan atau penghilangan pemiskinan yang dilakukan. Beberapa catatan-catatan reflektif yang teridentifikasi, bahwa penanggulangan kemiskinan tidak akan berjalan dengan mulus jika kebijakan-kebijakan di level pusat /nasional yang menghambat penanggulangan kemiskinan itu sendiri masih berlaku dan dijalankan. Pemetaan kebijakan dilakukan karena ada banyak kebijakan yang kemudian membatasi bahkan menghilangkan aset dan akses masyarakat (miskin) itu sendiri. Memang ada juga kebijakan-kebijakan yang mendukung tapi kebijakan tersebut tidak secara langsung bisa menjawab akar maupun dampak pemiskinan yang terjadi.
Ada banyak kebijakan perundang-undangan atau regulasi yang menghambat upaya penanggulangan kemiskinan dan kedaulatan rakyat atas berbagai sumber kehidupan masyarakat saat ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Peta Regulasi yang Menghambat
No
Jenis Kebijakan yang Dikeluarkan
Regulasi yang Berkaitan
Implikasi dari Kebijakan yang Dirumuskan dan Dikeluarkan
1 Kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam (agraria)
1. UU No.41/1999 tentang Kehutanan
2. UU No.18/2004 tentang Perkebunan
3. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air
- Isi UU ini sangat membatasi akses masyarakat untuk mengelola sumber-sumber penghidupan untuk seluas-luasnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
- Memperkuat sumber penghidupan dikuasai oleh privat dan oligarki Negara.
2 Kebijakan yang mengatur akses masyarakat terhadap modal atau keuangan
UU No.10/1998 tentang Perbankan
- UU ini mendukung praktik-praktik privatisasi.
- UU ini lebih memihak kepada pengusaha dan pemodal.
- Sistem dan aturan yang ketat dalam UU ini membatasi kelompok masyarakat dan masyarakat miskin mengakses finansial dan modal.
3 Kebijakan yang mengatur tentang penanaman modal, pertambangan minyak dan gas bumi
1. UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal
2. UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
3. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
- UU ini lebih berpihak pada pengusaha/pemodal (asing) dan menguntungkan bagi pemodal-pemodal lama dan baru yang akan melakukan investasi di Indonesia.
- Lemahnya kontrol negara atas tata kelola sumber-sumber penting kehidupan.
- Peminggiran dan penghilangan akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupannya.
4 Kebijakan pendidikan nasional
1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
- UU ini membuka ruang terjadinya praktik komersialisasi dan liberalisasi sistem sektor pendidikan.
5 Kebijakan ketenagakerjaan
UU No.1/2003 tentang Ketenagakerjaan
- UU ini belum menjamin perlakuan adil bagi para buruh.
Sebagai ilustrasi, kasus kemiskinan atau lebih tepatnya ”pemiskinan” di kawasan perkebunan dan kehutanan, salah satu faktor penyebab kemiskinan di kawasan tersebut rendahnya bahkan ketiadaan akses masyarakat terhadap basis produksi berupa tanah. Sejatinya, masyarakat (petani) yang berada di kawasan tersebut tidak bisa dipisahkan dari tanah sebagai sumber penghidupan.
Ilustrasi lainnya misalnya, di sektor ekonomi dan UKM, akses masyarakat selama ini sangat kecil dan rendah terhadap permodalan karena sistem perbankan yang masih diskriminatif terhadap usaha kelompok-kelompok usaha masyarakat. Walau ada kebijakan berupa strategi penanggulangan kemiskinan nasional (SPKN) dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan daerah (SKPD), namun kebijakan-kebijakan lainnya yang bersifat kontraproduktif jauh lebih banyak, yaitu kebijakan-kebijakan yang mengatur sektor perbankan, agraria, penanaman modal, UKM, pengelolaan sumber daya alam, kehutanan, dan perkebunan yang menjadi aras dominasi pemerintah pusat.
b. Evaluasi Kritis atas Kelembagaan
Menurut Sujana Royat (2008)(7), secara sederhana kita mengartikan kelembagaan sebagai ”aturan main” (rule of the game). Namun, sering kali kita salah kaprah menyamakan antara kelembagaan dengan organisasi, Padahal keduanya tidak identik, meski berkaitan erat. Mudahnya, kelembagaan sering kali diartikan sebagai software sedangkan organisasi hardware-nya.
Melihat begitu pentingnya peran kelembagaan, maka diperlukan sebuah pendekatan kelembagaan untuk mengatasi kemiskinan dengan menekankan pada bagaimana sumber daya sosial dapat ditumbuhkembangkan melalui perubahan dalam distribusi hak milik (property rights), batas-batas yurisdiksi dan aturan representasi untuk mengatasi kemiskinan (pemiskinan).
Merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan kelembagaan yang kuat baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu kelembagaan yang melekat pada SNPK adalah kelembagaan Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK) yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002.
Fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) adalah sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Bahkan untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.(8)
Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan.
Ada beberapa catatan-catatan evaluatif yang berkaitan dengan peranan kelembagaan terutama yang didesain oleh TKPK dalam kerangka penanggulangan kemiskinan, di antaranya :
1. Kelembagaan yang didesain TKPK masih didominasi oleh pemerintah yang satu sama lain memiliki kepentingan-kepentingan sehingga sulit untuk dikonsolidasi dan dikoordinasikan. Di level pemerintah pusat ada sekitar 22 lembaga departemen dan non departemen yang dilibatkan sementara pelibatan kelompok masyarakat atau CSO sangat minim. Di level daerah pun tidak berbeda jauh dinamikanya, Tim TKPD yang bekerja di kabupaten kota masih didominasi oleh pemerintah.
2. Kelembagaan penanggulangan kemiskinan terutama Tim TKPK masih bekerja secara parsial dan mekanis di level pemerintahan saja, padahal banyak kelembagaan-kelembagaan non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan masyarakat namun belum dilibatkan secara aktif. Saat ini, banyak lembaga-lembaga non pemerintah yang bekerja dalam konteks pemberdayaan ekonomi masyarakat (miskin/dhufa) namun kelembagaan pemerintah belum secara optimal mengadopsi praktek keberhasilannya.
3. Konsolidasi kelembagaan TKPK daerah yang lemah, hal ini ditandai dengan lemahnya sinergitas Tim TKPKD dengan SKPD di daerah untuk secara kolektif merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Beberapa kasus di Kabupaten Bandung dan Gunung Kidul, Tim TKPD begitu sulit melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk mengawal pelaksanaan perda tentang Strategi Penganggulangan Kemiskinan Daerah.
c. Evaluasi Kritis atas Pemberdayaan Masyarakat (Grassroot)
Pemberdayaan masyarakat adalah instrumen pokok dalam mengatasi permasalahan pemiskinan. Pemberdayaan masyarakat mengandung dimensi yang kompleks, secara metodologis dalam praktiknya harus dilakukan secara intergral, organik bukan parsial dan mekanis. Karena permasalahan pemiskinan adalah permasalahan struktural dan kultural maka pendekatan pemberdayaan masyarakat harus bisa memadukan dan memecahkan dua masalah utama tadi.
Dalam diskusi yang dilakukan dalam koordinasi program SAPA di Solo, Sapei Rusin menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat paling tidak mengarah pada 4 aspek yaitu tata kuasa, tata kelola, tata guna dan tata produksi. Aspek tata kuasa memastikan bahwa masyarakat atau komunitas memiliki hak kuasa atas sistem politik, ekonomi dan budaya dalam konteks pengelolaan sumber penghidupannya. Komunitas diberikan wewenang atau otoritas untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Setelah diberikan akses untuk menguasasi maka komunitas atau masyarakat harus diberikan akses untuk mengelola dan mendayagunakan segala sumber penghidupannya. Selain itu, pemerintah harus menjamin perlindungan atas tata produksi yang dilakukannya.
Ada bebarapa catatan yang bisa direkam dari praktik pemberdayaan yang dilakukan oleh pelbagai pihak yang baik pengurus negara maupun pelaku pemberdayaan masyarakat seperti kelompok masyarakat sipil, kelembagaan koperasi, organisasi masyarakat atau organisasi sektoral (tani, miskin kota dan miskin desa di antaranya adalah :
1. Pengurus negara cenderung menempatkan dan memposisikan masyarakat (kaum miskin) sebagai objek kebijakan dan pembangunan. Implikasinya adalah penguatan dan pemberdayaan masyarakat berjalan setengah-setengah, meminggirkan peranan komunitas yang relatif potensial dan telah berinisiatif melakukan upaya-upaya pemecahan masalah pemiskinan itu sendiri, pemberdayaan yang dilakukan tidak berbasis pada sistem pengetahuan yang tumbuh di masyarakat. Contoh program PNPM yang dilakukan di perdesaan telah membunuh institusi-institusi lokal yang berhasil bertahan seperti keberadaan koperasi-koperasi perdesaan yang telah diinisiasi oleh masyarakat setempat. Program PNPM justru sebaliknya, membuat kelembagaan seperti BKM dan KSM yang selama 5 tahun terbukti mengalami kegagalan.
2. Pengurus negara terjebak pada pola-pola pemberdayaan yang linier, mekanis dan parsial. Pemberdayaan seringkali terjebak pada pendekatan-pendekatan formal dan sektoral sehingga menimbulkan konflik kepentingan, terutama program-program yang dijalankan oleh SKPD yang bisa rutin dilakukan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya cukup dengan pendekatan-pendekatan karikatif atau charity seperti pemberian modal usaha, atau intevensi penyediaan anggaran belaka. Di beberapa kasus menunjukkan bahwa perlu adanya terobosan solusi dan kebijakan yang mendukung pada penjaminan akses terhadap sumber-sumber produksi seperti tanah, air dan energi.
3. Pemberdayaan masyarakat belum mendukung kerja-kerja pemberdayaan komunitas miskin yang selama ini tumbuh atas inisiatif-inisiatif (modal sosial) komunitas itu sendiri seringkali membunuh ruang-ruang dan inisiatif lokal(komunitas) yang selama ini bermunculan. Kasus PNPM di perdesaan misalnya, pembangunan kelembagaan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan ala PNPM berjalan kurang ”sebangun”, beberapa kasus di perdesaan di Kabupaten Bandung misalnya, pelaku program PNPM membuat perencanaan desa secara sendiri tanpa dikoordinasikan dan dintergrasikan dengan perencanaan pembangunan yang telah disusun oleh pemerintahan desa.
4. Pengurus negara atau publik kurang mendukung pada penyediaan sumber-sumber daya bagi pemberdayaan masyarakat yang relatif sudah berhasil untuk berkembang seperti penyediaan akses informasi, akses modal sehingaa bisa diperbanyak secara adaptif dan diperluas ruangnya. Program KUR misalnya, persyaratan yang rumit dan birokratis menghambat kelompok masyarakat yang akan berusaha atau mengembangkan usaha-usaha ekonomi potensial.
Resolusi : Menata Kembali Kebijakan Negara yang lebih Memihak
Dari catatan-catatan kritis tersebut, akar persoalan pemiskinan adalah salah urus sumber penghidupan negara yang bersumber pada kebijakan. Maka, upaya penanggulangan pemiskinan memerlukan terobosan-terobosan luar biasa yang didasari oleh kebijakan-kebijakan negara yang lebih memihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga atau rakyat (miskin), memperluas aset dan akses masyarakat (miskin) dalam tata kelola sumber daya kehidupan negara.
Ada beberapa resolusi yang bisa dijalankan yang mengarah pada penataan kebijakan negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Resolusi tersebut, yaitu :
1. Menata, mencabut dan mengubah regulasi-regulasi negara (perundang-undangan) yang menghambat pengelolaan sumber penghidupan oleh rakyat, baik regulasi sistem keuangan, sektoral maupun regulasi yang mengatur tentang tata kelola pemerintahan dan anggaran publik.
2. Pemerintah harus mendukung kelembagaan-kelembagaan masyarakat yang selama ini melakukan upaya-upaya mengatasi masalah pemiskinan, memfasilitasi kerja-kerja pemberdayaan masyarakat yang selama ini berjalan.
3. Pemerintah harus menyusun dan membuat kebijakan-kebijakan baru yang memastikan perlindungan dan mendukung entitas sosial di masyarakat dan inisiatif-inisiatif lokal di daerah yang melakukan upaya-upaya penyelesaian pemiskinan.
4. Pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran seproporsional mungkin yang bisa diakses, dikelola dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara mudah dan benar-benar menjawab permasalahan pemiskinan itu sendiri.
5. Mendesain ulang kelembagaan dan kemitraan strategis yang memastikan keberlanjutan kebijakan yang dijalankan.
Dadan Ramdan Harja adalah Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan dan Pusat Sumber Daya (P3SD) – Perkumpulan INISIATIF Bandung
Catatan kaki :
1. Catatan kecil Reflektif dalam kerangka mengkoordinasikan program penanggulangan kemiskinan di untuk merespon Permusaan Kebijakan RPJMN Tahun 2009-2015.
2. Laporan Hasil Kajian Tengah Tahun INDEF tahun 2009 dalam www.indef.org
3. Hasil Kajian Tim TKPKRI tahun 2009.
4. Judul berita evaluasi RPJMN 2004-2009 dalam http://www.suarakarya-online.com/news.
5. Sujana Royat dalam Tulisan “ Arah dan Strategi Baru dalam Penanggulangan Kemiskinan yang dimuat dalam http://catatan-sr.blogspot.com.
6. Sri Mulyani dalam pernyataan di Rapat Kerja dengan Komisi XI DPRI tahun 2009 yang dimuat dalam Harian Suara Karya Jakarta 2009
7. http://catatan-sr.blogspot.com/2008/08/fungsi-kelembagan-tkpk-dalam-pnpm.html, judul tulisan Fungsi Kelembagaan TKPK dalam Program Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri
8. http://tkpkri.org/sejarah-singkat-tim-koordinasi-penanggulangan-kemiskinan.html
REVITALISASI POTENSI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan 'kiyai".
Kata santri - menurut Abdul Munir Mulkhan - dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna. Pertama, menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok dan yang kedua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam.
Jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731.
"Pondok pesantren adalah ' kotak ajaib' yang selalu menyimpan dan menghasilkan banyak pertanyaan. Ajaib karena kotak ini tetap bertahan dengan karakter tradisionalnya di tengah derasnya modernisasi. Sementara dengan tetap mendekam dalam tempurungnya, justeru sebagian pengamat melihat pesantren sebagai pemilik langkah-langkah positif dan progresif melakukan transformasi sosial pada tingkat dasar"
Posisi pondok pesantren dan santri dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan nuansa lokalitasnya merupakan khazanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak heran kalau pada gilirannya ada yang menyebut pesantren sebagai lembaga unik yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah banyak berkiprah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari potensi lokal yang tidak lepas dari akar budaya bangsa, pesantren secara langsung ataupun tidak, telah merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang notabene tersebar di seluruh penjuru nusantara, termasuk pesantren yang ada di Madura. Akibat pesantren yang menjamur, membuat pulau yang dikenal dengan tradisi carok dan merantau ini disebut sebagai pulau seribu pesantren, karena ternyata, bagi orang-orang Madura, pesantren masih tetap dianggap sebagai lembaga yang terpercaya dan menjadi pilihan utama rata-rata masyarakat Madura.
Asumsi indigenous yang dilekatkan pada lembaga pendidikan pesantren memandang bahwa pesantren merupakan lembaga yang memadukan antara dua ciri utama, pada satu sisi ia membawa nilai-nilai lokal budaya Indonesia, sementara pada sisi yang lain ia tetap identik dengan tradisi Islam. Dengan demikian, pada dua ciri inilah yang sebenarnya menjadi identitas unik dari pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Maka, perbincangan pesantren dengan ciri-ciri tersebut yang membuat pesantren dinilai sebagai lembaga yang sangat unik, ditambah lagi dengan banyak hal yang dijalankan dalam kehidupan pesantren, yang semakin menegaskan tentang citra unik pesantren itu sendiri.
Pesantren telah terbaca bukan hanya sebagai bagian dari potensi budaya lokal, tetapi dalam setiap perkembangannya pesantren telah dianggap sebagai bagian strategis dalam setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukan hanya menggerakkan dirinya pada satu domain gerakan dalam konteks pengembangan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga telah dijadikan sebagai media yang sangat luas, yaitu pesantren menjadi agen gerakan perubahan dan perlawanan yang secara istiqomah dilakukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan posisi multi yang diperankan ini, semakin memperjelas bahwa pesantren tidak hanya pas dianggap sebagai sub kultur bangsa Indonesia atau institusi pendidikan, tetapi juga menjadi pialang gerakan perlawanan dalam melawan setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh para penjajah, serta aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang lain.
Dalam tulisan ini secara spesifik akan difokuskan pada satu sisi dari pesantren : ia sebagai lembaga pendidikan yang memiliki posisi strategis untuk menjadi lembaga paling absah dalam menggerakkan dunia pendidikan, setidaknya sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang melekat di dalamnya, dan diyakini dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif, pada saat lembaga-lembaga pendidikan yang lain mengalami goncangan memprihatinkan, akibat perilaku amoral dan free seks yang dipraktekkan oleh peserta didik. Kasus-kasus asusila dan amoral dalam dunia pendidikan yang berungkali terjadi, merupakan bukti sangat sederhana tentang hancurnya proses-proses pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa ini.
Karena pendidikan dengan demikian tidak dapat menjadi jembatan pembebasan dalam segala aspek, seperti yang memang menjadi tujuan substansial dari pendidikan. Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita melalui praktek-praktek amoral tersebut menjadi indikasi nyata tentang gagalnya pendidikan untuk mencapai target ideal, bahwa arah pendidikan pada hakikatnya bukan hanya diarahkan untuk melahirkan insan-insan berintelektual an sich, tetapi yang paling mendasar adalah pendidikan sejatinya harus dapat melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas moral yang dapat dipertanggung jawabkan. Kenyataan memprihatinkan hancurnya moralitas pendidikan tersebut, sudah tentu menjadi sesuatu yang sangat mengganggu dalam proses pendidikan yang dikembangkan.
Pada wilayah ini, pesantren menjadi rujukan yang sangat signifikan, karena jelas, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tetap dengan tegas menjadikan nilai-nilai keagamaan menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan potensi besar yang diharapkan dapat menjawab problematika moral pendidikan yang terjadi hari ini. Artinya, mencari jawaban atas problematika pendidikan yang demikian, pesantren tetap diharapkan menjadi alternatif dengan sekian nilai keagamaan yang menjadi ajaran utama di dalamnya.
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan (Mempertegas Tradisi yang Unik)
Sebagai lembaga pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai keunikan, pesantren memiliki nilai tawar yang sangat strategis dalam mewarnai dunia pendidikan. Asumsi bahwa pesantren bukanlah merupakan sekolah, bukan suatu learning school, tapi lebih merupakan learning society, merupakan sisi unik yang dimiliki oleh pesantren, sebab disitu masyarakat bisa belajar dan menambah wawasan bersama. Hal Ini yang menurut hemat penulis yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain, karena pesantren tidak hanya sekedar menjadi lembaga pendidikan sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tetapi lebih jauh pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan masyarakat.
Proses pembelajaran bersama dengan penuh kebersamaan, seperti yang ditegaskan di atas merupakan sisi menarik dari kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Nilai-nilai kebersamaan dengan nuansa keterbukaan pembelajaran, semakin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dalam asumsi dari, untuk dan demi masyarakat, karena di dalamnya masyarakat dapat belajar bersama dan berproses bersama hanya dengan satu keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga lokal yang memiliki ikatan kebersamaan, itulah yang sampai kini menjadi kekuatan pesantren dalam sepanjang sejarah perjalanannya. Masyarakat dan pesantren bagaikan setali tiga uang yang tetap menyatu dan berkelindan, sehingga perubahan apapun yang terjadi, di tengah banyak lembaga lain tenggelam, pesantren tetap eksis dan survev.
Hal ini, semakin menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga dimana proses pendidikan masyarakat dengan tanpa ada diskriminasi dan distorsi menjadi potret tentang lembaga pendidikan yang menjadikan keterbukaan dan kesamaan sebagai kunci utama pengembangan di dalamnya. Artinya, pesantren secara langsung ataupun tidak lebih merepresentasikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam segala lintasan sosial, karena dapat belajar dan berproses di dalamnya dengan posisi dan derajat yang sama.
Dalam kerangka ini, pesantren secara otomatis telah masuk ke dalam salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran-peran strategis dalam mengawal terciptanya masyarakat yang terdidik dan masyarakat yang berpengetahuan sesuai dengan cita-cita UUD 1945 untuk membentuk manusia seutuhnya, terutama di tengah tantangan kemajuan bangsa-bangsa lain yang semakin dinamis dan cepat.
Bahkan seperti yang disinggung di awal tulisan ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika hidup yang terus bergulir, bagi pesantren telah menjadi tantangan tersendiri untuk segera berbenah dan membenahi segala kelemahan yang dimiliki, sehingga pesantren akan benar-benar terus dipercaya, bukan hanya oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat diperhatikan oleh komunitas di luar pesantren yang selama ini mengambil sikap apatis terhadap posisi pesantren. Dengan kata lain, sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang sangat mengental, pesantren sudah waktunya mulai menghilangkan asumsi hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tidak berkembang seperti lembaga-lembaga yang lain, akan tetapi pesantren sudah harus menampilkan diri sebagai lembaga pendidikan yang utuh : lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama, sehingga menjadi lembaga pendidikan yang sangat utuh dan bisa mengawal perubahan dengan maksimal.
Dalam keterkaitan ini, asumsi unik tersebut sudah harus dikembangkan ke arah yang lebih unik lagi, kalau pesantren selama ini hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang tradisional dengan pemaknaan yang kaku, ke depan pesantren harus mampu mendongkrak asumsi baru, selain tetap menjaga tradisi dan sistem yang ada, pesantren harus mampu menyesuaikan dengan sistem baru yang searah dengan jarum-jarum perubahan. Sistem lokal yang menjadi identitas pesantren harus tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata terhadap hal-hal baru yang dianggap akan mampu memperlebar kiprah pesantren dalam melahirkan out put yang menjanjikan. Karena apapun yang dimiliki dan dikembangkan oleh pesantren pada hakikatnya merupakan kekayaan lokal dan tidak boleh menghilang dari kehidupan bangsa ini.
Akan tetapi, bukan berarti pesantren harus menutup mata dan menolak adanya sistem baru yang notabene datang dari luar pesantren dengan alasan yang sangat klasik hanya karena bukan asli sistem pesantren. Asumsi tersebut, yang setidaknya merupakan penerjemahan dari adagium lokal pesantren al-mukhafadzotu ala qodimis salih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara tradisi lama yang sudah berkembang sejak awal pesantren ada, dengan tetap secara kreatif dan kritis terhadap perkembangan baru yang bernilai baik). Dengan paradigma yang demikian, pesantren akan tetap menjadi lembaga unik yang tetap istiqomah menjaga nilai-nilai lokal yang dimiliki sebagai kekayaan luhur, namun di sisi yang lain, pesantren tidak pernah menutup mata atas setiap hal-hal baru yang secara faktual akan dapat menjadi nilai tambah bagi kemajuan pesantren dalam berdialektika dengan setiap perubahan yang terjadi. Sebab, dalam hal memelihara tradisi, pesantren sangat konsen dan istiqomah.
Kenyataan ini yang tercermin dalam pandangan Gusdur, seperti dikutip Abdurrahman Mas'ud M.A, Ph.D :
Ide "pelestarian budaya" terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan dalam lembaga pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, dan langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kiyai. Isi ajarannya, berupa kitab-kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) jelas menjanjikan kesinambungan the right tradition atau al-qadimi ash-shalih, dan memelihara ilmu-ilmu agama yang telah diijazahkan secara luas kepada masyarakat Islam oleh para ulama' besar pada masa lalu.
Dalam konteks ini, posisi pesantren sebagai lembaga yang sangat unik akan tetap menemukan relevansinya. Pesantren akan tetap terbaca sebagai lembaga yang selalu sejalan dan kukuh dalam menjaga identitas dirinya dalam setiap perubahan yang terjadi. Hal ini, juga dipertegas oleh satu asumsi : Pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam perspektifnya pondok pesantren selalu menampakkan wajah ambi dixtorus, cakap menggunakan dwi arti untuk kondisi-kondisi tertentu dengan sama baiknya. Setiap orang mengenal bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan klasik yang mungkin paling tradisional di negeri ini. Akan tetapi, melalui kebanggaan tradisionalitasnya, tidak dipungkiri, pondok pesantren justeru semakin survev, bahkan kadang dianggap sebagai alternatif di dalam glomouritas dan hegemoni modernisme yang dalam waktu bersamaan mengagendakan tradisi sebagai masalah.
Maka nilai-nilai tradisionalitas yang menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi landasan bergerak pesantren dalam setiap perjalanannya, karena dengan tradisionalitas itulah, pesantren mampu bertahan menjadi lembaga yang sangat fenomenal dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya akan dibaca sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga acapkali menjadi pemain dalam setiap perubahan yang akan terjadi.
Dalam konteks ini, Gusdur juga memberikan apresiasi yang cukup panjang. Menurutnya :
Struktur pengajaran yang unik yang dimiliki pesantren, tentu juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Diantara pandangan hidup yang akan dihasilkannya adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama dalam pandangan sudut material, asalkan pandangan ukhrowi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan. Walaupun kedengarannya cukup aneh dan penuh gema sikap fatalistis, pandangan hidup semacam ini memiliki segi positifnya sendiri : kemampuan menciptakan penerimaan perubahan-perubahan status dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibelitas para santri untuk menempuh karir masing-masing kelak. Sebab itu, ukuran santri dalam studi kepesantrenan tidak semata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam memahami dan menguasai kitab kuning dan pengetahuan lainnya. Lebih dari itu terletak pada relasi yang dijalin oleh santri dengan kiyai, sesama santri dan lingkungannya. Akibat dari konstruk tata nilai pesantren seperti ini, tidak heran manakala muncul pemimpin non-formal berkaliber nasional dari kalangan pesantren yang tidak jarang mampu mengungguli dan lebih berpengaruh daripada pemimpin formal yang memang tidak dicetak dalam lingkungan pesantren.
Hal itu menunjukkan akan kiprah besar pesantren yang signifikan. Peran-peran besar yang dilahirkan oleh pesantren dalam tataran nasional, pesantren tetap memiliki peluang yang sangat besar. Walaupun, dengan tetap menjaga nilai-nilai dan identitas yang dimiliki, salah satunya bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh pesantren harus tetap diperhatikan, karena itulah sejak awal pesantren terbentuk yang menjadi ciri khas pesantren. Kekayaan potensi yang dimiliki pesantren secara faktual menjadi modal dasar bagi pesantren untuk meneguhkan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang lebih siap memberikan yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia.
Pesantren tidak hanya sebagai pelengkap lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi lebih jauh dari hanya sekedar itu bahwa pesantren memiliki posisi yang sangat fundamental dan strategis dalam menopang kebutuhan pendidikan bangsa dengan out put yang bisa diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, karena seperti yang ditulis Gusdur di atas dengan konstruk tata nilai yang dimiliki, pesantren kadangkala mampu menjadi lembaga pendidikan yang dapat mengalahkan lembaga pendidikan lain dengan out put yang bisa memainkan peran-peran strategis baik lokal, regional, nasional maupun internasional.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah dapat menanamkan perannya yang tidak sedikit dengan segala potensi yang dimiliki, hanya saja persoalan yang kemudian dapat dimunculkan adalah bagaimana dapat menemukan format sangat ideal tentang pendidikan pesantren dalam kerangka membawa pesantren ke arah yang lebih menjanjikan. Lembaga pesantren yang notabene merupakan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang tidak hanya secara sempit memposisikan diri dalam menggerakkan dunia pendidikan guna memenuhi kebutuhan bangsa ini menghadapi era kesejagatan dengan kemajuan-kemajuannya yang luar biasa.
Hal ini muncul karena selama ini pesantren dipandang sebagai lembaga yang tidak pernah mampu menatap masa depannya dengan jernih. Pesantren masih tetap asyik dengan stigma tradisionalnya, sehingga tidak hanya melihat dengan sebelah mata : sebagai lembaga pendidikan yang sangat tradisonal dan tidak bisa dijadikan peta dalam melihat tantangan kehidupan yang sudah sangat jauh beranjak. Artinya, pesantren tidak bisa diharapkan dapat melahirkan out put yang dapat dipertanggung jawabkan atas nama kemajuan dengan sistem dan model pendidikan yang sangat klasik.
Akibatnya, pesantren dianggap sebagai lembaga sangat lokal yang selalu terbius dengan tradisi lokalnya, tanpa ada keinginan untuk sedikit maju, memoles sistem di dalamnya sehingga dapat memberikan sesuatu yang sangat berarti, terutama dalam konteks melahirkan hasil yang salihun li kulli zamanin wa makananin. Yakni, melahirkan generasi-generasi yang siap memposisikan diri dan diposisikan sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan era global. Karena tantangan globalisasi dengan segala implikasi sosialnya, tentunya membutuhkan jawaban yang nyata. Tugas besar pendidikan pada gilirannya adalah melahirkan out put yang mampu menjawab kebutuhan global dengan kualitas, skill dan kompetensi yang jelas, sehingga dunia pendidikan (pesantren) tidak hanya akan melahirkan generasi-generasi yang terkorbankan dan terjajah di bawah kemajuan kehidupan global, tetapi mampu memproduksi generasi-generasi masa depan yang memiliki kemampuan yang sejalan dengan kebutuhan era globalisasi.
Kenyataan inilah, yang menurut hemat penulis penting untuk dibaca dan dibuka kembali terkait dengan pesantren sebagai khazanah yang unik. Penulis melihat ke depan pesantren sudah harus mampu meletakkan dirinya secara agresif, sehingga dapat menjadi lembaga yang tidak hanya terbaca dengan sebelah mata, tetapi sudah waktunya dapat menunjukkan pada bangsa ini bahwa pesantren yang digali dengan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang selalu haus akan kemajuan, terutama dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di dalamnya. Sudah bukan waktunya pesantren hanya bersikap statis dan rigid serta hanya menjadi pemberi dukungan terhadap segala proyek perubahan di masa ini, tanpa ada geliat untuk memainkan perubahan-perubahan tersebut dengan kreatif dan inovatif.
Dengan potensi yang dimiliki, pesantren semestinya lebih proaktif menjadi pemimpin dalam setiap perubahan melalui media kultural yang selama ini dilakukan. Apalagi bagi bangsa yang tengah mengalami degradasi moral dan kehancuran tatanan nilai moralitas dalam semua aspek, terutama dalam dunia pendidikan dan out put yang dilahirkan. Maka eksistensi pesantren dengan sistem yang ada, sekaligus dengan nilai-nilai khas pendidikan keagamaan yang dimiliki dapat memberikan harapan baru bagi bangunan pendidikan bangsa ini. Eksistensi pesantren bagaimanapun merupakan bagian yang –juga- sangat strategis dalam menopang pembangunan pendidikan nasional, yang harus dibangun dan dikembangkan., karena pendidikan pesantren sampai kini lebih dikenal sebagai lembaga yang independen dan mampu mengurus keberadaannya secara mandiri akan lebih leluasa dalam menentukan arah pendidikan yang diharapkan. Yakni, lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai agama serta tetap mampu menatap masa depannya dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian.
B. Pesantren Sebagai Khazanah Potensial (Mengembangkan Potensi)
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang otonom atau lembaga yang qiyamuhu bianfishi ; berdiri sendiri, yang artinya segala sesuatu diurus oleh pondok, dan tidak diorganisasi sebegitu rupa. Akan tetapi lebih banyak sebagai living organism, organisasi yang hidup dan tidak memerlukan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri dengan kenyataan yang demikian, pesantren tetap memiliki beberapa kelemahan, antara lain pada sistem pendidikan, baik pada kurikulum, metode, sarana maupun prasaranya. Walaupun hal itu, sejak beberapa tahun terakhir telah mulai diperhatikan oleh kalangan pesantren untuk diperbaiki.
Kesadaran tuntuk terus mengembangkan potensi pesantren tersebut, dalam kerangka memenuhi kebutuhan riil masyarakat di sekitar pesantren akibat pengaruh majunya kehidupan yang menuntut pesantren harus menata ulang strategi pengembangan pendidikannya, sehingga pesantren akan terus dinamis dan dialektis, dengan tetap tidak menafikan nilai-nilai lama yang menjadi identitas pesantren sendiri.
Pesantren yang notabene sangat akrab dengan masyarakat dan menjadi dambaan mereka akan dapat dipertanggung jawabkan. Artinya pesantren, bukan hanya menjadi lembaga penampungan dengan sistem pembelajaran yang statis dan apatis terhadap perkembangan, tetapi juga mampu menatap kemajuan dengan kritis, sehingga pola-pola pembelajaran yang dikembangkan senantiasa salihun dengan kebutuhan bersama secara global. Pesantren bukan hanya menyediakan satu menu bagi para santrinya, tetapi harus mampu merubah dirinya menjadi toserba yang menyediakan banyak kebutuhan bagi para santri.
Dari sinilah, sistem pendidikan juga harus dirujukkan, sehingga pesantren akan senantiasa senafas dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat global ; dimana nilai-nilai moral keagamaan yang menjadi identitas pesantren tetap utuh, sementara skill dan wawasan umum para santri juga menjadi pertimbangan pesantren. Sebab, memasuki abad XXI, yang diiringi oleh ketidak pastian global (Global Uncertainty) dengan ditandai perubahan paradigma ilmu dan teknologi disertai kompetisi di segala bidang, tuntutan kompetisi inilah yang harus menjadi pijakan pesantren dalam meningkatkan daya saing agar tetap eksis dan mampu melahirkan kader-kader yang marketable.
Bahkan lebih jauh lagi, pesantren diharapkan dapat berperan sedemikian rupa dalam memberikan dukungan sosial bagi pembangunan yang bersifat indigenous, asli, sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan tersebut semakin besar. Sulit kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan telah mengakar sangat kuat. Pesantren adalah potensi dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga kelestariannya. Karena penghargaan terhadap tradisi pada hakikatnya merupakan bentuk komitmen cinta terhadap budaya bangsa yang ada.
Lembaga pesantren yang otonom, besar dan bergerak karena faktor masyarakat bawah, harus tetap dijaga identitasnya dan secara terus menerus untuk dikembangkan, sehingga mampu menjadi lembaga yang betul-betul memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa dan negara. Karena dengan cara yang demikian, target untuk melahirkan generasi-generasi yang Ber-IMTAK dan Ber-IPTEK, akan dengan mudah dilahirkan – khususnya- oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.
C. Revitalisasi Potensi Pesantren (Menatap Masa Depan)
Seperti yang sudah penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan bagian dari komunitas yang sudah jelas menyimpan banyak potensi yang harus dikembangkan dan diberdayakan sesuai dengan tuntutan kehidupan. Pesantren sebagai lembaga alternatif dan sangat dekat dengan kehidupan mayarakat, terutama masyarakat bawah harus dijadikan perhatian dan pertimbangan bersama, bagaimana ia dapat dikelola dengan proses pengelolaan yang dinamis dan modern, dan pada akhirnya dapat memberikan kepuasan bagi masyarakatnya.
Sebab bagaimanapun, sistem dan strategi pengembangan yang dilakukan akan tetap memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pesantren, terutama dalam hal melahirkan generasi-generasi yang berbobot dalam semua hal, bukan hanya bobot intelektual, skill tetapi juga bobot moral yang notabene menjadi kebutuhan sangat vital bagi bangsa Indonesia. Dan pesantren memiliki itu semua, tergantung sejauh mana potensi yang ada dapat difungsikan secara maksimal.
Perkembangan dunia telah melahirkan kemajuan zaman yang luar biasa (modern). Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha konstektualisasi bangunan-bangunan sosio kultural dengan dinamika modernisasi, tidak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren, karena itu, maka sistem pendidikan pesantren harus melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survev. Dengan kata lain, sudah waktunya pesantren untuk mengerahkan segala potensi yang dimiliki dan membuka ruang yang lebar terhadap sistem-sistem baru yang sejalur dengan nafas pesantren. Pesantren harus mampu melihat setiap perubahan yang terjadi di luar dirinya, sehingga pesantren akan selalu mampu membaca dan merespon setiap geliat perubahan yang dilahirkan oleh perkembangan zaman dengan cepat.
Dalam keterkaitan ini, kesadaran yang sangat kreatif tersebut, pada gilirannya meniscayakan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat memberdayakan diri dalam usaha pengembangan sumberdaya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang tampak semakin kompleks. Pola kerjasama meniscayakan minimalisasi, asumsi-asumsi negatif yang diletakkan pada pesantren ; terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderung mempertahankan status quo.
Pesantren akan selalu menjadi pusat gerak dan pusat pertahanan dari serbuan hegemoni globalisasi kehidupan yang mengajarkan tentang imperialisasi dan kolonialisasi dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek budaya dan pendidikan. Maka sistem pendidikan yang berkembang dan dikembangkan oleh pesantren, dengan ciri keagamaannya ke depan dapat memberikan jawaban yang sangat konkret bagi kebutuhan era global. Maka, revitalisasi potensi dan sistem pendidikan, secara substansial menjadi keniscayaan yang pasti. Yang dibutuhkan dalam hal revitalisasi adalah kesediaan pesantren untuk tetap secara kritis membaca kebutuhan masa depan dengan logika-logika yang taktis dengan melahirkan out put-out put yang selalu siap melawan arus kemajuan. Artinya, sistem pesantren harus diletakkan dengan paradigma baru sebagai media untuk melahirkan generasi-generasi berkualitas total yang siap menerjemahkan dirinya dengan segala tantangan yang terjadi.
Sebab, kegagalan pengembangan SDM masyarakat tentunya juga akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pesantren mampu menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan yang memiliki arah dan tujuan yang jelas ; bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga penggemblengan moral kader, tetapi juga merupakan sarana pembentukan wawasan, skil dan profesionalisme kader yang siap menyongsong perubahan dan kemajuan. Pesantren jangan sampai terjebak pada paradigma kaku menciptakan kader-kader sarungan berkelas lokal, akan tetapi pesantren harus mampu melihat dengan mata terbuka pada wilayah luas yang notabene lebih menantang, karena pola pemahaman yang demikian sama halnya dengan telah membiarkan pesantren terjebak dengan paradigma sebagai pabrik kader yang tidak siap melawan kemajuan dan secara tidak langsung telah menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Pesantren pada gilirannya akan tetap mabni dengan predikat klasik sebagai lembaga archaik yang tidak mampu menatap masa depannya dengan dialektif. Sangat mungkin generasi-generasi yang dididik dalam pesantren akan menjadi korban dari kemajuan dan keangkuhan peradaban modern. Akibat arah dan gerak pendidikan pesantren tidak lagi digerakkan dalam lingkungan ortodoktif.
Pesantren sudah waktunya berbenah dan menyadari hal ini, sehingga pesantren tidak akan lagi dikerangkakan sebagai lembaga pendidikan yang wujuduhu kaadami. Pesantren yang tidak mampu berdialektika dengan perubahan dan menjawab tantangan global. Pesantren jangan lagi dipahami sebagai artefak budaya yang rigid, tetapi sudah harus dipahami sebagai mobilisator perubahan yang siap mengantarkan santri-santrinya menjadi agen perubahan (agen of change) sejati, yang bukan hanya siap mentransformasi nilai, tetapi juga siap menjadi bagian aktif dari nilai itu sendiri. Dengan begitu, pesantren akan tetap menjadi pesantren yang tetap setia dengan garis perjuangan yang genuine sebagai lembaga pendidikan yang kreatif dan produktif yang pada gilirannya mampu memaknai konsep li yundziru qoumahum dengan sangat transformatif.
Untuk mewujudkan hal itu meminjam kerangka Dr. Ahmad Qodri A. Azizy, para pengelola pesantren dituntut untuk mampu mengantisipasi dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan sekaligus mengetahui arah dan sasaran kehidupan masyarakat. Adalah tidak mustahil bahwa sebagian masyarakat sudah mengalami perubahan pandangan terhadap keberadaan pesantren model kuno. Maka, jawabannya adalah bagaimana agar pesantren tidak ditinggalkan masyarakat, baik menyangkut sistem dan kelembagaan, pendidikan, maupun fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Pesantren harus mampu menata dirinya secara produktif dan kreatif dengan menyediakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pesantren harus mampu menatap masa depan dengan paradigma globalitas dimana setiap kemajuan yang dikembangkan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tradisi dan sistem murni pesantren tetap harus dipertahankan, tetapi pada sisi yang lain pesantren juga harus kritis dan taktis dalam memposisikan diri di tengah arus kemajuan yang sangat cepat melaju.
Dengan kesadaran dan persoalan yang serba kompleks tersebut, pesantren tidak cukup hanya mengandalkan sistem dan cara pandang klasik pesantren dengan menafikan sistem dan cara pandang yang agresif. Sebagai bagian dari sekian lembaga pendidikan yang ada dalam bangsa ini, pesantren juga sangat bertanggung jawab atas masa depan dan arah yang jelas bagi generasi yang dididik di dalamnya. Oleh karena itu, pesantren sudah waktunya menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia merupakan driving force (tenaga penggerak) untuk dan demi kemajuan bangsa Indonesia. Kemajuan zaman dengan segala tantangan yang dibawanya, bagi pesantren merupakan agenda tersendiri yang secara kritis harus dibaca dan dipikirkan. Dengan kata lain, pesantren tidak boleh hanya memandang masa lalu, tetapi harus peka dalam menatap masa depan dengan jernih.
PENUTUP
Mimpi besar di atas akan menjadi kenyataan apabila pesantren siap dan mampu melakukan banyak perubahan mendasar dalam diri pesantren. Sebab akar keterlambatan pengembangan out put pesantren selama ini ialah karena pesantren, masih tetap terlena dengan keyakinan egois bahwa pesantren adalah pesantren yang hanya memfokus gerakkan pada pengembangan moral dan ritual, bukan pada kerangka umum pesantren sebagai lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sang perubah dan kader baru yang siap tampil dalam segala lini kehidupan, sehingga tidak heran kalau pada gilirannya pesantren tetap terasumsi sebagai lembaga yang sangat tradisional alias terbelakang dari kemajuan hidup yang sangat cepat.
Usaha-usaha itu akan tercapai apabila pesantren siap melakukan beberapa hal, disamping harus tetap mempertahankan tradisi-tradisi khas pesantren yang bernilai aslah. Pertama, mengubah paradigma konsepsi ke transformasi-liberasi. Artinya, pesantren harus melakukan perubahan mainstream berfikir dari hanya memperbincangkan konsep iman individual menjadi iman sosial yang mengidealkan terciptanya karakter kader yang liberatif. Maka pola pengembangan dan pembelajaran harus diarahkan untuk membentuk kader-kader militan yang mampu melihat persoalan sosial sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dengan pendekatan yang rasional dan solutif, tidak membentuk kader-kader kaku yang hanya pandai mengembalikan persoalan-persoalan sosial pada pradigma yang sangat kaku dan tidak kritis.
Kedua, pesantren perlu menyadari tentang pentingnya pengembangan wawasan kreatif dan skill profesional santri secara konkret sekaligus dengan sangat kritis menyadari tantangan global yang sangat keras. Maka yang harus dilakukan ialah pesantren bukan hanya harus menyediakan pola pengembangan keilmuan santri terbatas pada pengajian kitab kuning an sich, tetapi perlu adanya pola pengembangan baru yang lebih konkret dan langsung menyentuh pada skiil mendasar santri yang arahnya pada profesionalisme santri. Pelatihan-pelatihan konkret yang sekiranya akan menjadi kebutuhan riil santri di pentas kehidupan global harus dijadikan sebagai sesuatu yang juga sangat afdhol, sehingga nantinya akan mampu melahirkan “santri baru” yang siap berposisi dan diposisikan dalam wilayah apapun, bukan santri “bingung” yang kehilangan keseimbangan dalam mencari posisi, dengan tetap tidak menghilangkan jati diri dengan identitas kesantriannya.
Ketiga, memberikan kebebasan berfikir yang kaffah. Sebab, kebebasan berfikir merupakan substansi dari semua pengembangan. Kebebasan berfikir berarti membuka ruang baru tentang masa depan dan kreatifitas santri untuk menjadi lebih baik dan berkembang. Pesantren tidak harus mencurigai setiap geliat kreatifitas berfikir santri yang dihasilkan melalui proses pembacaan. Apalagi sampai menutup akses pembacaan terhadap buku-buku yang sangat kritis. Dengan kata lain, pesantren harus mampu memberikan rangsangan yang jelas terhadap santrinya untuk kritis, melalui keberagaman bahan bacaan yang dihasilkan melalui berbagai pendekatan, dan pada gilirannya akan melahirkan kader-kader kreatif-kritis yang kaya dengan wawasan dan pengalaman.
Dengan modal-modal tersebut, pesantren akan dapat menjadikan dirinya sebagai pesantren yang dialektif dan mampu mengikuti perubahan dengan baik. Pesantren dengan demikian, tidak akan lagi termangu melihat kemajuan dengan ribuan santri yang dikorbankan, tetapi pesantren yang telah dengan gagah mampu menampakkan kader-kader kreatifnya untuk maju bersama dengan bekal yang jelas menggapai posisi strategis dalam kehidupan apapun dan dimanapun. Sehingga peran dan fungsi kehadirannya akan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pesantren dengan misi ideal yang demikian akan dibaca dan terbaca dengan serius dalam sepanjang zaman. Itulah pesantren yang sebenarnya. Pesantren yang tetap memelihara tradisi yang ada, namun juga tidak gagab dalam mengikuti perubahan. Pesantren yang tetap terpesantrenkan.
Akhirnya, tulisan ini hanya tawaran sederhana terhadap pesantren untuk dipertimbangkan. Penulis hanya ingin mengatakan satu hal bahwa pesantren harus mampu mencetak kader-kader yang serba bisa bukan hanya kader yang pintar dalam satu bidang an sich, tetapi santri yang memiliki kemampuan di bidang-bidang yang lain. Itulah tipologi santri masa depan yang harus berhasil diproduk oleh pesantren.
Daftar Pustaka
Aminoto Sa'doellah "Pendidikan Cap Sarung : Wacana Keilmuan Pesantren, Nalar Kritis, dan Kepekaan Sosial Santri", dalam GERBANG, Jurnal Pemikiran Agama Dan Demokrasi, vol.. 06. No. 03. Pebruari-April 2000. hlm. 67
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta, LP3ES, 1982) hlm. 44
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos politik Santri (Yogjakarta, SIRPRESS, 1992) hlm. 1
Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII
Dr. Ahmad Qodari A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta, LKiS, 2000) hlm. 96
Bisri Effendy, Annuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990)
Paulus Mujiran, Pernik-Pernik Pendidikan Menefestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 107
Mohammad Suhaidi RB. " GURU DAN OTONOMI PEMBELAJARAN : Meretas Pendidikan Bervisi Global", dalam Majalah RETORIKA,,Edisi 1/TH. I/2005, hlm. 25
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Yogjakarta, IRCiSoD, 2004), hlm. 95
Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D, Intelektual Pesantren : Perhelatan Agama dan Tradisi (Ypgjakarta, LKiS, 2004), hlm. 11
Marzuki Wahied, dkk (penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 145-146
Prof. H. Abdurrahman Mas’ ud, Ph. D, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang. CV. Aneka Ilmu, 2004), hlm. 30
Imron Arifin, "Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Pemikiran Wacana dalam Desentralisasi Pendidikan", dalam Jurnal Empirisma, Edisi I. No. 8 Tahun 2002, hlm. 24
Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta, Paramadina, 1997), hlm.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan 'kiyai".
Kata santri - menurut Abdul Munir Mulkhan - dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna. Pertama, menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok dan yang kedua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam.
Jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731.
"Pondok pesantren adalah ' kotak ajaib' yang selalu menyimpan dan menghasilkan banyak pertanyaan. Ajaib karena kotak ini tetap bertahan dengan karakter tradisionalnya di tengah derasnya modernisasi. Sementara dengan tetap mendekam dalam tempurungnya, justeru sebagian pengamat melihat pesantren sebagai pemilik langkah-langkah positif dan progresif melakukan transformasi sosial pada tingkat dasar"
Posisi pondok pesantren dan santri dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan nuansa lokalitasnya merupakan khazanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak heran kalau pada gilirannya ada yang menyebut pesantren sebagai lembaga unik yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah banyak berkiprah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari potensi lokal yang tidak lepas dari akar budaya bangsa, pesantren secara langsung ataupun tidak, telah merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang notabene tersebar di seluruh penjuru nusantara, termasuk pesantren yang ada di Madura. Akibat pesantren yang menjamur, membuat pulau yang dikenal dengan tradisi carok dan merantau ini disebut sebagai pulau seribu pesantren, karena ternyata, bagi orang-orang Madura, pesantren masih tetap dianggap sebagai lembaga yang terpercaya dan menjadi pilihan utama rata-rata masyarakat Madura.
Asumsi indigenous yang dilekatkan pada lembaga pendidikan pesantren memandang bahwa pesantren merupakan lembaga yang memadukan antara dua ciri utama, pada satu sisi ia membawa nilai-nilai lokal budaya Indonesia, sementara pada sisi yang lain ia tetap identik dengan tradisi Islam. Dengan demikian, pada dua ciri inilah yang sebenarnya menjadi identitas unik dari pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Maka, perbincangan pesantren dengan ciri-ciri tersebut yang membuat pesantren dinilai sebagai lembaga yang sangat unik, ditambah lagi dengan banyak hal yang dijalankan dalam kehidupan pesantren, yang semakin menegaskan tentang citra unik pesantren itu sendiri.
Pesantren telah terbaca bukan hanya sebagai bagian dari potensi budaya lokal, tetapi dalam setiap perkembangannya pesantren telah dianggap sebagai bagian strategis dalam setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukan hanya menggerakkan dirinya pada satu domain gerakan dalam konteks pengembangan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga telah dijadikan sebagai media yang sangat luas, yaitu pesantren menjadi agen gerakan perubahan dan perlawanan yang secara istiqomah dilakukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan posisi multi yang diperankan ini, semakin memperjelas bahwa pesantren tidak hanya pas dianggap sebagai sub kultur bangsa Indonesia atau institusi pendidikan, tetapi juga menjadi pialang gerakan perlawanan dalam melawan setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh para penjajah, serta aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang lain.
Dalam tulisan ini secara spesifik akan difokuskan pada satu sisi dari pesantren : ia sebagai lembaga pendidikan yang memiliki posisi strategis untuk menjadi lembaga paling absah dalam menggerakkan dunia pendidikan, setidaknya sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang melekat di dalamnya, dan diyakini dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif, pada saat lembaga-lembaga pendidikan yang lain mengalami goncangan memprihatinkan, akibat perilaku amoral dan free seks yang dipraktekkan oleh peserta didik. Kasus-kasus asusila dan amoral dalam dunia pendidikan yang berungkali terjadi, merupakan bukti sangat sederhana tentang hancurnya proses-proses pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa ini.
Karena pendidikan dengan demikian tidak dapat menjadi jembatan pembebasan dalam segala aspek, seperti yang memang menjadi tujuan substansial dari pendidikan. Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita melalui praktek-praktek amoral tersebut menjadi indikasi nyata tentang gagalnya pendidikan untuk mencapai target ideal, bahwa arah pendidikan pada hakikatnya bukan hanya diarahkan untuk melahirkan insan-insan berintelektual an sich, tetapi yang paling mendasar adalah pendidikan sejatinya harus dapat melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas moral yang dapat dipertanggung jawabkan. Kenyataan memprihatinkan hancurnya moralitas pendidikan tersebut, sudah tentu menjadi sesuatu yang sangat mengganggu dalam proses pendidikan yang dikembangkan.
Pada wilayah ini, pesantren menjadi rujukan yang sangat signifikan, karena jelas, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tetap dengan tegas menjadikan nilai-nilai keagamaan menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan potensi besar yang diharapkan dapat menjawab problematika moral pendidikan yang terjadi hari ini. Artinya, mencari jawaban atas problematika pendidikan yang demikian, pesantren tetap diharapkan menjadi alternatif dengan sekian nilai keagamaan yang menjadi ajaran utama di dalamnya.
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan (Mempertegas Tradisi yang Unik)
Sebagai lembaga pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai keunikan, pesantren memiliki nilai tawar yang sangat strategis dalam mewarnai dunia pendidikan. Asumsi bahwa pesantren bukanlah merupakan sekolah, bukan suatu learning school, tapi lebih merupakan learning society, merupakan sisi unik yang dimiliki oleh pesantren, sebab disitu masyarakat bisa belajar dan menambah wawasan bersama. Hal Ini yang menurut hemat penulis yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain, karena pesantren tidak hanya sekedar menjadi lembaga pendidikan sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tetapi lebih jauh pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan masyarakat.
Proses pembelajaran bersama dengan penuh kebersamaan, seperti yang ditegaskan di atas merupakan sisi menarik dari kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Nilai-nilai kebersamaan dengan nuansa keterbukaan pembelajaran, semakin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dalam asumsi dari, untuk dan demi masyarakat, karena di dalamnya masyarakat dapat belajar bersama dan berproses bersama hanya dengan satu keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga lokal yang memiliki ikatan kebersamaan, itulah yang sampai kini menjadi kekuatan pesantren dalam sepanjang sejarah perjalanannya. Masyarakat dan pesantren bagaikan setali tiga uang yang tetap menyatu dan berkelindan, sehingga perubahan apapun yang terjadi, di tengah banyak lembaga lain tenggelam, pesantren tetap eksis dan survev.
Hal ini, semakin menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga dimana proses pendidikan masyarakat dengan tanpa ada diskriminasi dan distorsi menjadi potret tentang lembaga pendidikan yang menjadikan keterbukaan dan kesamaan sebagai kunci utama pengembangan di dalamnya. Artinya, pesantren secara langsung ataupun tidak lebih merepresentasikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam segala lintasan sosial, karena dapat belajar dan berproses di dalamnya dengan posisi dan derajat yang sama.
Dalam kerangka ini, pesantren secara otomatis telah masuk ke dalam salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran-peran strategis dalam mengawal terciptanya masyarakat yang terdidik dan masyarakat yang berpengetahuan sesuai dengan cita-cita UUD 1945 untuk membentuk manusia seutuhnya, terutama di tengah tantangan kemajuan bangsa-bangsa lain yang semakin dinamis dan cepat.
Bahkan seperti yang disinggung di awal tulisan ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika hidup yang terus bergulir, bagi pesantren telah menjadi tantangan tersendiri untuk segera berbenah dan membenahi segala kelemahan yang dimiliki, sehingga pesantren akan benar-benar terus dipercaya, bukan hanya oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat diperhatikan oleh komunitas di luar pesantren yang selama ini mengambil sikap apatis terhadap posisi pesantren. Dengan kata lain, sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang sangat mengental, pesantren sudah waktunya mulai menghilangkan asumsi hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tidak berkembang seperti lembaga-lembaga yang lain, akan tetapi pesantren sudah harus menampilkan diri sebagai lembaga pendidikan yang utuh : lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama, sehingga menjadi lembaga pendidikan yang sangat utuh dan bisa mengawal perubahan dengan maksimal.
Dalam keterkaitan ini, asumsi unik tersebut sudah harus dikembangkan ke arah yang lebih unik lagi, kalau pesantren selama ini hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang tradisional dengan pemaknaan yang kaku, ke depan pesantren harus mampu mendongkrak asumsi baru, selain tetap menjaga tradisi dan sistem yang ada, pesantren harus mampu menyesuaikan dengan sistem baru yang searah dengan jarum-jarum perubahan. Sistem lokal yang menjadi identitas pesantren harus tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata terhadap hal-hal baru yang dianggap akan mampu memperlebar kiprah pesantren dalam melahirkan out put yang menjanjikan. Karena apapun yang dimiliki dan dikembangkan oleh pesantren pada hakikatnya merupakan kekayaan lokal dan tidak boleh menghilang dari kehidupan bangsa ini.
Akan tetapi, bukan berarti pesantren harus menutup mata dan menolak adanya sistem baru yang notabene datang dari luar pesantren dengan alasan yang sangat klasik hanya karena bukan asli sistem pesantren. Asumsi tersebut, yang setidaknya merupakan penerjemahan dari adagium lokal pesantren al-mukhafadzotu ala qodimis salih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara tradisi lama yang sudah berkembang sejak awal pesantren ada, dengan tetap secara kreatif dan kritis terhadap perkembangan baru yang bernilai baik). Dengan paradigma yang demikian, pesantren akan tetap menjadi lembaga unik yang tetap istiqomah menjaga nilai-nilai lokal yang dimiliki sebagai kekayaan luhur, namun di sisi yang lain, pesantren tidak pernah menutup mata atas setiap hal-hal baru yang secara faktual akan dapat menjadi nilai tambah bagi kemajuan pesantren dalam berdialektika dengan setiap perubahan yang terjadi. Sebab, dalam hal memelihara tradisi, pesantren sangat konsen dan istiqomah.
Kenyataan ini yang tercermin dalam pandangan Gusdur, seperti dikutip Abdurrahman Mas'ud M.A, Ph.D :
Ide "pelestarian budaya" terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan dalam lembaga pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, dan langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kiyai. Isi ajarannya, berupa kitab-kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) jelas menjanjikan kesinambungan the right tradition atau al-qadimi ash-shalih, dan memelihara ilmu-ilmu agama yang telah diijazahkan secara luas kepada masyarakat Islam oleh para ulama' besar pada masa lalu.
Dalam konteks ini, posisi pesantren sebagai lembaga yang sangat unik akan tetap menemukan relevansinya. Pesantren akan tetap terbaca sebagai lembaga yang selalu sejalan dan kukuh dalam menjaga identitas dirinya dalam setiap perubahan yang terjadi. Hal ini, juga dipertegas oleh satu asumsi : Pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam perspektifnya pondok pesantren selalu menampakkan wajah ambi dixtorus, cakap menggunakan dwi arti untuk kondisi-kondisi tertentu dengan sama baiknya. Setiap orang mengenal bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan klasik yang mungkin paling tradisional di negeri ini. Akan tetapi, melalui kebanggaan tradisionalitasnya, tidak dipungkiri, pondok pesantren justeru semakin survev, bahkan kadang dianggap sebagai alternatif di dalam glomouritas dan hegemoni modernisme yang dalam waktu bersamaan mengagendakan tradisi sebagai masalah.
Maka nilai-nilai tradisionalitas yang menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi landasan bergerak pesantren dalam setiap perjalanannya, karena dengan tradisionalitas itulah, pesantren mampu bertahan menjadi lembaga yang sangat fenomenal dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya akan dibaca sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga acapkali menjadi pemain dalam setiap perubahan yang akan terjadi.
Dalam konteks ini, Gusdur juga memberikan apresiasi yang cukup panjang. Menurutnya :
Struktur pengajaran yang unik yang dimiliki pesantren, tentu juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Diantara pandangan hidup yang akan dihasilkannya adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama dalam pandangan sudut material, asalkan pandangan ukhrowi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan. Walaupun kedengarannya cukup aneh dan penuh gema sikap fatalistis, pandangan hidup semacam ini memiliki segi positifnya sendiri : kemampuan menciptakan penerimaan perubahan-perubahan status dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibelitas para santri untuk menempuh karir masing-masing kelak. Sebab itu, ukuran santri dalam studi kepesantrenan tidak semata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam memahami dan menguasai kitab kuning dan pengetahuan lainnya. Lebih dari itu terletak pada relasi yang dijalin oleh santri dengan kiyai, sesama santri dan lingkungannya. Akibat dari konstruk tata nilai pesantren seperti ini, tidak heran manakala muncul pemimpin non-formal berkaliber nasional dari kalangan pesantren yang tidak jarang mampu mengungguli dan lebih berpengaruh daripada pemimpin formal yang memang tidak dicetak dalam lingkungan pesantren.
Hal itu menunjukkan akan kiprah besar pesantren yang signifikan. Peran-peran besar yang dilahirkan oleh pesantren dalam tataran nasional, pesantren tetap memiliki peluang yang sangat besar. Walaupun, dengan tetap menjaga nilai-nilai dan identitas yang dimiliki, salah satunya bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh pesantren harus tetap diperhatikan, karena itulah sejak awal pesantren terbentuk yang menjadi ciri khas pesantren. Kekayaan potensi yang dimiliki pesantren secara faktual menjadi modal dasar bagi pesantren untuk meneguhkan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang lebih siap memberikan yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia.
Pesantren tidak hanya sebagai pelengkap lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi lebih jauh dari hanya sekedar itu bahwa pesantren memiliki posisi yang sangat fundamental dan strategis dalam menopang kebutuhan pendidikan bangsa dengan out put yang bisa diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, karena seperti yang ditulis Gusdur di atas dengan konstruk tata nilai yang dimiliki, pesantren kadangkala mampu menjadi lembaga pendidikan yang dapat mengalahkan lembaga pendidikan lain dengan out put yang bisa memainkan peran-peran strategis baik lokal, regional, nasional maupun internasional.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah dapat menanamkan perannya yang tidak sedikit dengan segala potensi yang dimiliki, hanya saja persoalan yang kemudian dapat dimunculkan adalah bagaimana dapat menemukan format sangat ideal tentang pendidikan pesantren dalam kerangka membawa pesantren ke arah yang lebih menjanjikan. Lembaga pesantren yang notabene merupakan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang tidak hanya secara sempit memposisikan diri dalam menggerakkan dunia pendidikan guna memenuhi kebutuhan bangsa ini menghadapi era kesejagatan dengan kemajuan-kemajuannya yang luar biasa.
Hal ini muncul karena selama ini pesantren dipandang sebagai lembaga yang tidak pernah mampu menatap masa depannya dengan jernih. Pesantren masih tetap asyik dengan stigma tradisionalnya, sehingga tidak hanya melihat dengan sebelah mata : sebagai lembaga pendidikan yang sangat tradisonal dan tidak bisa dijadikan peta dalam melihat tantangan kehidupan yang sudah sangat jauh beranjak. Artinya, pesantren tidak bisa diharapkan dapat melahirkan out put yang dapat dipertanggung jawabkan atas nama kemajuan dengan sistem dan model pendidikan yang sangat klasik.
Akibatnya, pesantren dianggap sebagai lembaga sangat lokal yang selalu terbius dengan tradisi lokalnya, tanpa ada keinginan untuk sedikit maju, memoles sistem di dalamnya sehingga dapat memberikan sesuatu yang sangat berarti, terutama dalam konteks melahirkan hasil yang salihun li kulli zamanin wa makananin. Yakni, melahirkan generasi-generasi yang siap memposisikan diri dan diposisikan sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan era global. Karena tantangan globalisasi dengan segala implikasi sosialnya, tentunya membutuhkan jawaban yang nyata. Tugas besar pendidikan pada gilirannya adalah melahirkan out put yang mampu menjawab kebutuhan global dengan kualitas, skill dan kompetensi yang jelas, sehingga dunia pendidikan (pesantren) tidak hanya akan melahirkan generasi-generasi yang terkorbankan dan terjajah di bawah kemajuan kehidupan global, tetapi mampu memproduksi generasi-generasi masa depan yang memiliki kemampuan yang sejalan dengan kebutuhan era globalisasi.
Kenyataan inilah, yang menurut hemat penulis penting untuk dibaca dan dibuka kembali terkait dengan pesantren sebagai khazanah yang unik. Penulis melihat ke depan pesantren sudah harus mampu meletakkan dirinya secara agresif, sehingga dapat menjadi lembaga yang tidak hanya terbaca dengan sebelah mata, tetapi sudah waktunya dapat menunjukkan pada bangsa ini bahwa pesantren yang digali dengan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang selalu haus akan kemajuan, terutama dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di dalamnya. Sudah bukan waktunya pesantren hanya bersikap statis dan rigid serta hanya menjadi pemberi dukungan terhadap segala proyek perubahan di masa ini, tanpa ada geliat untuk memainkan perubahan-perubahan tersebut dengan kreatif dan inovatif.
Dengan potensi yang dimiliki, pesantren semestinya lebih proaktif menjadi pemimpin dalam setiap perubahan melalui media kultural yang selama ini dilakukan. Apalagi bagi bangsa yang tengah mengalami degradasi moral dan kehancuran tatanan nilai moralitas dalam semua aspek, terutama dalam dunia pendidikan dan out put yang dilahirkan. Maka eksistensi pesantren dengan sistem yang ada, sekaligus dengan nilai-nilai khas pendidikan keagamaan yang dimiliki dapat memberikan harapan baru bagi bangunan pendidikan bangsa ini. Eksistensi pesantren bagaimanapun merupakan bagian yang –juga- sangat strategis dalam menopang pembangunan pendidikan nasional, yang harus dibangun dan dikembangkan., karena pendidikan pesantren sampai kini lebih dikenal sebagai lembaga yang independen dan mampu mengurus keberadaannya secara mandiri akan lebih leluasa dalam menentukan arah pendidikan yang diharapkan. Yakni, lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai agama serta tetap mampu menatap masa depannya dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian.
B. Pesantren Sebagai Khazanah Potensial (Mengembangkan Potensi)
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang otonom atau lembaga yang qiyamuhu bianfishi ; berdiri sendiri, yang artinya segala sesuatu diurus oleh pondok, dan tidak diorganisasi sebegitu rupa. Akan tetapi lebih banyak sebagai living organism, organisasi yang hidup dan tidak memerlukan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri dengan kenyataan yang demikian, pesantren tetap memiliki beberapa kelemahan, antara lain pada sistem pendidikan, baik pada kurikulum, metode, sarana maupun prasaranya. Walaupun hal itu, sejak beberapa tahun terakhir telah mulai diperhatikan oleh kalangan pesantren untuk diperbaiki.
Kesadaran tuntuk terus mengembangkan potensi pesantren tersebut, dalam kerangka memenuhi kebutuhan riil masyarakat di sekitar pesantren akibat pengaruh majunya kehidupan yang menuntut pesantren harus menata ulang strategi pengembangan pendidikannya, sehingga pesantren akan terus dinamis dan dialektis, dengan tetap tidak menafikan nilai-nilai lama yang menjadi identitas pesantren sendiri.
Pesantren yang notabene sangat akrab dengan masyarakat dan menjadi dambaan mereka akan dapat dipertanggung jawabkan. Artinya pesantren, bukan hanya menjadi lembaga penampungan dengan sistem pembelajaran yang statis dan apatis terhadap perkembangan, tetapi juga mampu menatap kemajuan dengan kritis, sehingga pola-pola pembelajaran yang dikembangkan senantiasa salihun dengan kebutuhan bersama secara global. Pesantren bukan hanya menyediakan satu menu bagi para santrinya, tetapi harus mampu merubah dirinya menjadi toserba yang menyediakan banyak kebutuhan bagi para santri.
Dari sinilah, sistem pendidikan juga harus dirujukkan, sehingga pesantren akan senantiasa senafas dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat global ; dimana nilai-nilai moral keagamaan yang menjadi identitas pesantren tetap utuh, sementara skill dan wawasan umum para santri juga menjadi pertimbangan pesantren. Sebab, memasuki abad XXI, yang diiringi oleh ketidak pastian global (Global Uncertainty) dengan ditandai perubahan paradigma ilmu dan teknologi disertai kompetisi di segala bidang, tuntutan kompetisi inilah yang harus menjadi pijakan pesantren dalam meningkatkan daya saing agar tetap eksis dan mampu melahirkan kader-kader yang marketable.
Bahkan lebih jauh lagi, pesantren diharapkan dapat berperan sedemikian rupa dalam memberikan dukungan sosial bagi pembangunan yang bersifat indigenous, asli, sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan tersebut semakin besar. Sulit kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan telah mengakar sangat kuat. Pesantren adalah potensi dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga kelestariannya. Karena penghargaan terhadap tradisi pada hakikatnya merupakan bentuk komitmen cinta terhadap budaya bangsa yang ada.
Lembaga pesantren yang otonom, besar dan bergerak karena faktor masyarakat bawah, harus tetap dijaga identitasnya dan secara terus menerus untuk dikembangkan, sehingga mampu menjadi lembaga yang betul-betul memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa dan negara. Karena dengan cara yang demikian, target untuk melahirkan generasi-generasi yang Ber-IMTAK dan Ber-IPTEK, akan dengan mudah dilahirkan – khususnya- oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.
C. Revitalisasi Potensi Pesantren (Menatap Masa Depan)
Seperti yang sudah penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan bagian dari komunitas yang sudah jelas menyimpan banyak potensi yang harus dikembangkan dan diberdayakan sesuai dengan tuntutan kehidupan. Pesantren sebagai lembaga alternatif dan sangat dekat dengan kehidupan mayarakat, terutama masyarakat bawah harus dijadikan perhatian dan pertimbangan bersama, bagaimana ia dapat dikelola dengan proses pengelolaan yang dinamis dan modern, dan pada akhirnya dapat memberikan kepuasan bagi masyarakatnya.
Sebab bagaimanapun, sistem dan strategi pengembangan yang dilakukan akan tetap memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pesantren, terutama dalam hal melahirkan generasi-generasi yang berbobot dalam semua hal, bukan hanya bobot intelektual, skill tetapi juga bobot moral yang notabene menjadi kebutuhan sangat vital bagi bangsa Indonesia. Dan pesantren memiliki itu semua, tergantung sejauh mana potensi yang ada dapat difungsikan secara maksimal.
Perkembangan dunia telah melahirkan kemajuan zaman yang luar biasa (modern). Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha konstektualisasi bangunan-bangunan sosio kultural dengan dinamika modernisasi, tidak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren, karena itu, maka sistem pendidikan pesantren harus melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survev. Dengan kata lain, sudah waktunya pesantren untuk mengerahkan segala potensi yang dimiliki dan membuka ruang yang lebar terhadap sistem-sistem baru yang sejalur dengan nafas pesantren. Pesantren harus mampu melihat setiap perubahan yang terjadi di luar dirinya, sehingga pesantren akan selalu mampu membaca dan merespon setiap geliat perubahan yang dilahirkan oleh perkembangan zaman dengan cepat.
Dalam keterkaitan ini, kesadaran yang sangat kreatif tersebut, pada gilirannya meniscayakan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat memberdayakan diri dalam usaha pengembangan sumberdaya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang tampak semakin kompleks. Pola kerjasama meniscayakan minimalisasi, asumsi-asumsi negatif yang diletakkan pada pesantren ; terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderung mempertahankan status quo.
Pesantren akan selalu menjadi pusat gerak dan pusat pertahanan dari serbuan hegemoni globalisasi kehidupan yang mengajarkan tentang imperialisasi dan kolonialisasi dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek budaya dan pendidikan. Maka sistem pendidikan yang berkembang dan dikembangkan oleh pesantren, dengan ciri keagamaannya ke depan dapat memberikan jawaban yang sangat konkret bagi kebutuhan era global. Maka, revitalisasi potensi dan sistem pendidikan, secara substansial menjadi keniscayaan yang pasti. Yang dibutuhkan dalam hal revitalisasi adalah kesediaan pesantren untuk tetap secara kritis membaca kebutuhan masa depan dengan logika-logika yang taktis dengan melahirkan out put-out put yang selalu siap melawan arus kemajuan. Artinya, sistem pesantren harus diletakkan dengan paradigma baru sebagai media untuk melahirkan generasi-generasi berkualitas total yang siap menerjemahkan dirinya dengan segala tantangan yang terjadi.
Sebab, kegagalan pengembangan SDM masyarakat tentunya juga akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pesantren mampu menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan yang memiliki arah dan tujuan yang jelas ; bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga penggemblengan moral kader, tetapi juga merupakan sarana pembentukan wawasan, skil dan profesionalisme kader yang siap menyongsong perubahan dan kemajuan. Pesantren jangan sampai terjebak pada paradigma kaku menciptakan kader-kader sarungan berkelas lokal, akan tetapi pesantren harus mampu melihat dengan mata terbuka pada wilayah luas yang notabene lebih menantang, karena pola pemahaman yang demikian sama halnya dengan telah membiarkan pesantren terjebak dengan paradigma sebagai pabrik kader yang tidak siap melawan kemajuan dan secara tidak langsung telah menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Pesantren pada gilirannya akan tetap mabni dengan predikat klasik sebagai lembaga archaik yang tidak mampu menatap masa depannya dengan dialektif. Sangat mungkin generasi-generasi yang dididik dalam pesantren akan menjadi korban dari kemajuan dan keangkuhan peradaban modern. Akibat arah dan gerak pendidikan pesantren tidak lagi digerakkan dalam lingkungan ortodoktif.
Pesantren sudah waktunya berbenah dan menyadari hal ini, sehingga pesantren tidak akan lagi dikerangkakan sebagai lembaga pendidikan yang wujuduhu kaadami. Pesantren yang tidak mampu berdialektika dengan perubahan dan menjawab tantangan global. Pesantren jangan lagi dipahami sebagai artefak budaya yang rigid, tetapi sudah harus dipahami sebagai mobilisator perubahan yang siap mengantarkan santri-santrinya menjadi agen perubahan (agen of change) sejati, yang bukan hanya siap mentransformasi nilai, tetapi juga siap menjadi bagian aktif dari nilai itu sendiri. Dengan begitu, pesantren akan tetap menjadi pesantren yang tetap setia dengan garis perjuangan yang genuine sebagai lembaga pendidikan yang kreatif dan produktif yang pada gilirannya mampu memaknai konsep li yundziru qoumahum dengan sangat transformatif.
Untuk mewujudkan hal itu meminjam kerangka Dr. Ahmad Qodri A. Azizy, para pengelola pesantren dituntut untuk mampu mengantisipasi dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan sekaligus mengetahui arah dan sasaran kehidupan masyarakat. Adalah tidak mustahil bahwa sebagian masyarakat sudah mengalami perubahan pandangan terhadap keberadaan pesantren model kuno. Maka, jawabannya adalah bagaimana agar pesantren tidak ditinggalkan masyarakat, baik menyangkut sistem dan kelembagaan, pendidikan, maupun fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Pesantren harus mampu menata dirinya secara produktif dan kreatif dengan menyediakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pesantren harus mampu menatap masa depan dengan paradigma globalitas dimana setiap kemajuan yang dikembangkan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tradisi dan sistem murni pesantren tetap harus dipertahankan, tetapi pada sisi yang lain pesantren juga harus kritis dan taktis dalam memposisikan diri di tengah arus kemajuan yang sangat cepat melaju.
Dengan kesadaran dan persoalan yang serba kompleks tersebut, pesantren tidak cukup hanya mengandalkan sistem dan cara pandang klasik pesantren dengan menafikan sistem dan cara pandang yang agresif. Sebagai bagian dari sekian lembaga pendidikan yang ada dalam bangsa ini, pesantren juga sangat bertanggung jawab atas masa depan dan arah yang jelas bagi generasi yang dididik di dalamnya. Oleh karena itu, pesantren sudah waktunya menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia merupakan driving force (tenaga penggerak) untuk dan demi kemajuan bangsa Indonesia. Kemajuan zaman dengan segala tantangan yang dibawanya, bagi pesantren merupakan agenda tersendiri yang secara kritis harus dibaca dan dipikirkan. Dengan kata lain, pesantren tidak boleh hanya memandang masa lalu, tetapi harus peka dalam menatap masa depan dengan jernih.
PENUTUP
Mimpi besar di atas akan menjadi kenyataan apabila pesantren siap dan mampu melakukan banyak perubahan mendasar dalam diri pesantren. Sebab akar keterlambatan pengembangan out put pesantren selama ini ialah karena pesantren, masih tetap terlena dengan keyakinan egois bahwa pesantren adalah pesantren yang hanya memfokus gerakkan pada pengembangan moral dan ritual, bukan pada kerangka umum pesantren sebagai lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sang perubah dan kader baru yang siap tampil dalam segala lini kehidupan, sehingga tidak heran kalau pada gilirannya pesantren tetap terasumsi sebagai lembaga yang sangat tradisional alias terbelakang dari kemajuan hidup yang sangat cepat.
Usaha-usaha itu akan tercapai apabila pesantren siap melakukan beberapa hal, disamping harus tetap mempertahankan tradisi-tradisi khas pesantren yang bernilai aslah. Pertama, mengubah paradigma konsepsi ke transformasi-liberasi. Artinya, pesantren harus melakukan perubahan mainstream berfikir dari hanya memperbincangkan konsep iman individual menjadi iman sosial yang mengidealkan terciptanya karakter kader yang liberatif. Maka pola pengembangan dan pembelajaran harus diarahkan untuk membentuk kader-kader militan yang mampu melihat persoalan sosial sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dengan pendekatan yang rasional dan solutif, tidak membentuk kader-kader kaku yang hanya pandai mengembalikan persoalan-persoalan sosial pada pradigma yang sangat kaku dan tidak kritis.
Kedua, pesantren perlu menyadari tentang pentingnya pengembangan wawasan kreatif dan skill profesional santri secara konkret sekaligus dengan sangat kritis menyadari tantangan global yang sangat keras. Maka yang harus dilakukan ialah pesantren bukan hanya harus menyediakan pola pengembangan keilmuan santri terbatas pada pengajian kitab kuning an sich, tetapi perlu adanya pola pengembangan baru yang lebih konkret dan langsung menyentuh pada skiil mendasar santri yang arahnya pada profesionalisme santri. Pelatihan-pelatihan konkret yang sekiranya akan menjadi kebutuhan riil santri di pentas kehidupan global harus dijadikan sebagai sesuatu yang juga sangat afdhol, sehingga nantinya akan mampu melahirkan “santri baru” yang siap berposisi dan diposisikan dalam wilayah apapun, bukan santri “bingung” yang kehilangan keseimbangan dalam mencari posisi, dengan tetap tidak menghilangkan jati diri dengan identitas kesantriannya.
Ketiga, memberikan kebebasan berfikir yang kaffah. Sebab, kebebasan berfikir merupakan substansi dari semua pengembangan. Kebebasan berfikir berarti membuka ruang baru tentang masa depan dan kreatifitas santri untuk menjadi lebih baik dan berkembang. Pesantren tidak harus mencurigai setiap geliat kreatifitas berfikir santri yang dihasilkan melalui proses pembacaan. Apalagi sampai menutup akses pembacaan terhadap buku-buku yang sangat kritis. Dengan kata lain, pesantren harus mampu memberikan rangsangan yang jelas terhadap santrinya untuk kritis, melalui keberagaman bahan bacaan yang dihasilkan melalui berbagai pendekatan, dan pada gilirannya akan melahirkan kader-kader kreatif-kritis yang kaya dengan wawasan dan pengalaman.
Dengan modal-modal tersebut, pesantren akan dapat menjadikan dirinya sebagai pesantren yang dialektif dan mampu mengikuti perubahan dengan baik. Pesantren dengan demikian, tidak akan lagi termangu melihat kemajuan dengan ribuan santri yang dikorbankan, tetapi pesantren yang telah dengan gagah mampu menampakkan kader-kader kreatifnya untuk maju bersama dengan bekal yang jelas menggapai posisi strategis dalam kehidupan apapun dan dimanapun. Sehingga peran dan fungsi kehadirannya akan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pesantren dengan misi ideal yang demikian akan dibaca dan terbaca dengan serius dalam sepanjang zaman. Itulah pesantren yang sebenarnya. Pesantren yang tetap memelihara tradisi yang ada, namun juga tidak gagab dalam mengikuti perubahan. Pesantren yang tetap terpesantrenkan.
Akhirnya, tulisan ini hanya tawaran sederhana terhadap pesantren untuk dipertimbangkan. Penulis hanya ingin mengatakan satu hal bahwa pesantren harus mampu mencetak kader-kader yang serba bisa bukan hanya kader yang pintar dalam satu bidang an sich, tetapi santri yang memiliki kemampuan di bidang-bidang yang lain. Itulah tipologi santri masa depan yang harus berhasil diproduk oleh pesantren.
Daftar Pustaka
Aminoto Sa'doellah "Pendidikan Cap Sarung : Wacana Keilmuan Pesantren, Nalar Kritis, dan Kepekaan Sosial Santri", dalam GERBANG, Jurnal Pemikiran Agama Dan Demokrasi, vol.. 06. No. 03. Pebruari-April 2000. hlm. 67
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta, LP3ES, 1982) hlm. 44
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos politik Santri (Yogjakarta, SIRPRESS, 1992) hlm. 1
Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII
Dr. Ahmad Qodari A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta, LKiS, 2000) hlm. 96
Bisri Effendy, Annuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990)
Paulus Mujiran, Pernik-Pernik Pendidikan Menefestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 107
Mohammad Suhaidi RB. " GURU DAN OTONOMI PEMBELAJARAN : Meretas Pendidikan Bervisi Global", dalam Majalah RETORIKA,,Edisi 1/TH. I/2005, hlm. 25
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Yogjakarta, IRCiSoD, 2004), hlm. 95
Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D, Intelektual Pesantren : Perhelatan Agama dan Tradisi (Ypgjakarta, LKiS, 2004), hlm. 11
Marzuki Wahied, dkk (penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 145-146
Prof. H. Abdurrahman Mas’ ud, Ph. D, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang. CV. Aneka Ilmu, 2004), hlm. 30
Imron Arifin, "Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Pemikiran Wacana dalam Desentralisasi Pendidikan", dalam Jurnal Empirisma, Edisi I. No. 8 Tahun 2002, hlm. 24
Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta, Paramadina, 1997), hlm.
Langganan:
Postingan (Atom)