Minggu, 29 Agustus 2010

Pasar dan Kaum Miskin

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/05/opini/2015075.htm


Oleh: TATA MUSTASYA



Pasar telah menjawab dan menjadi solusi bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi.
Tidak sempurna, tetapi lebih baik dibandingkan pilihan lain.

Di beberapa negara dengan ekonomi terpimpinâ?"seperti Vietnam di masa
laluâ?"orang tak semangat bekerja. Sebabnya, tidak ada keuntungan pribadi.
Insentif menggarap lahan pertanian, misalnya, amat minim karena hasil pertanian
diserahkan kepada negara. Gerak perekonomian pun menjadi lesu.

Apa yang ditulis Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature and Causes of
the Wealth of Nations banyak terbukti. Smith menulis, Bukan pada kebaikan tukang
daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mengharapkan makanan, tetapi kepada
kepentingan pribadi mereka.

Smith menambahkan, kepentingan pribadi inilah yang berinteraksi sedemikian rupa
sehingga menghasilkan manfaat buat publik. Manfaat itu muncul tanpa
direncanakan, namun lebih efektif daripada tindakan untuk kepentingan umum
sekalipun.

Nasib kaum miskin

Sayang, mekanisme pasar hanya hirau terhadap pertumbuhan. Pasar sering abai
terhadap pemerataan. Fakta itulah yang menimpa kaum miskin di Indonesia dalam
puluhan tahun pembangunan, lebih-lebih pascareformasi politik 1998.

Kaum miskin hadir dalam jumlah yang masif, sekitar 36 juta-54 juta orang, di
tengah pembangunan ekonomi. Bersamaan dengan pemulihan ekonomi pascakrisis,
jumlah kaum miskin terus meningkat. Belum lagi derita di tingkat mikro yang
kasatmata. Di mana posisi pasar dalam persoalan ini?

Faktanya, pasar hanya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya,
baik sebagai produsen maupun konsumen. Dengan kata lain, ada banyak orang yang
terekslusi. Tidak heran tanpa pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
yang memadai jutaan orang menjadi atau tetap miskin di tengah pertumbuhan
ekonomi dengan pasar sebagai mesinnya.

Pasar memiliki hukumnya sendiri, tahu siapa yang penting dan harus didahulukan.

Kepemilikan sumber daya mencakup pendidikan, pendapatan, tabungan, dan kekayaan
menentukan ke mana pasar akan berpihak. Kaum miskin dengan sumber daya amat
minim menjadi prioritas terakhir dari manfaat pasar.

Karena itulah ekonom Jeffrey D Sachs dalam buku The End of Poverty, How We Can
Make It Happen in Our Lifetime menegaskan, kemiskinan tidak akan hilang oleh
tangan tak kelihatan (invisible hand) dalam pasar. Perlu ada intervensi,
terutama untuk kemiskinan ekstrem atau kemiskinan kronis.

Kemalangan kaum miskin ini diperparah privatisasi pelayanan publik
pascareformasi politik 1998. Di antara implikasinya, biaya pendidikan dan
kesehatan menjadi mahal. Ekslusi kaum miskin, dengan demikian, meluas kepada
barang dan jasa publik.

Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan telah mengunci posisi kaum miskin.
Alih-alih menghilangkan jebakan kemiskinan, negara malah menciptakannya.
Lompatan kelas sosial bahkan antargenerasi sekalipun nyaris mustahil dilakukan.

Yang juga amat ganjil di Indonesia, ekonomi pasar tidak dibarengi jaminan sosial
bagi warga negara. Padahal, hal itu merupakan komplemen penting ekonomi pasar
yang berekses negatif melahirkan si kalah.

Alternatif kebijakan

Dengan segala kelemahannya, pasar tetap merupakan pilihan terbaik sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi. Bagaimanapun, pertumbuhan merupakan prasyarat perbaikan
kesejahteraan, termasuk bagi kaum miskin. Tinggal bagaimana agar kaum miskin
tidak ditinggalkan oleh gegap gempita pasar itu.

Model trickle-down effect yang memberikan remah-remah pembangunan kepada
masyarakat kelompok marjinal jangan diulang. Kebijakan seperti itu tidak hanya
buruk secara kemanusiaan, tetapi juga terbukti gagal memperbaiki hidup kaum
miskin.

Paling tidak, ada tiga kebijakan yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah harus
konsisten menerapkan ekonomi pasar untuk barang dan jasa. Deregulasi dan
pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) secara bertahap merupakan langkah
penting.

Kedua, pemerintah harus terus meningkatkan kemampuan kaum miskin untuk masuk ke
dalam pasar, baik sebagai produsen maupun konsumen. Kebijakan yang dapat
ditempuh dalam jangka pendek adalah latihan keterampilan dan kredit murah.

Dalam jangka panjang, pendidikan dan kesehatan merupakan kunci perbaikan
kehidupan kaum miskin, terutama dalam konteks antargenerasi.

Untuk itulah, layanan pendidikan dan kesehatan khusus bagi kaum miskin menjadi
keharusan. Ketiga, pemerintah harus segera memulai program jaminan sosial yang
memadai bagi kaum miskin.

Tiga hal itu mungkin dilaksanakan jika pemerintah mau melucuti kepentingan
pribadi dalam mengambil kebijakan. Jika tidak, bukan hanya pasar yang
mengabaikan kaum miskin, tetapi juga pengambil kebijakan.

TATA MUSTASYA Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar