PENDAHULUAN
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan 'kiyai".
Kata santri - menurut Abdul Munir Mulkhan - dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna. Pertama, menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok dan yang kedua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam.
Jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731.
"Pondok pesantren adalah ' kotak ajaib' yang selalu menyimpan dan menghasilkan banyak pertanyaan. Ajaib karena kotak ini tetap bertahan dengan karakter tradisionalnya di tengah derasnya modernisasi. Sementara dengan tetap mendekam dalam tempurungnya, justeru sebagian pengamat melihat pesantren sebagai pemilik langkah-langkah positif dan progresif melakukan transformasi sosial pada tingkat dasar"
Posisi pondok pesantren dan santri dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan nuansa lokalitasnya merupakan khazanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak heran kalau pada gilirannya ada yang menyebut pesantren sebagai lembaga unik yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah banyak berkiprah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari potensi lokal yang tidak lepas dari akar budaya bangsa, pesantren secara langsung ataupun tidak, telah merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang notabene tersebar di seluruh penjuru nusantara, termasuk pesantren yang ada di Madura. Akibat pesantren yang menjamur, membuat pulau yang dikenal dengan tradisi carok dan merantau ini disebut sebagai pulau seribu pesantren, karena ternyata, bagi orang-orang Madura, pesantren masih tetap dianggap sebagai lembaga yang terpercaya dan menjadi pilihan utama rata-rata masyarakat Madura.
Asumsi indigenous yang dilekatkan pada lembaga pendidikan pesantren memandang bahwa pesantren merupakan lembaga yang memadukan antara dua ciri utama, pada satu sisi ia membawa nilai-nilai lokal budaya Indonesia, sementara pada sisi yang lain ia tetap identik dengan tradisi Islam. Dengan demikian, pada dua ciri inilah yang sebenarnya menjadi identitas unik dari pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Maka, perbincangan pesantren dengan ciri-ciri tersebut yang membuat pesantren dinilai sebagai lembaga yang sangat unik, ditambah lagi dengan banyak hal yang dijalankan dalam kehidupan pesantren, yang semakin menegaskan tentang citra unik pesantren itu sendiri.
Pesantren telah terbaca bukan hanya sebagai bagian dari potensi budaya lokal, tetapi dalam setiap perkembangannya pesantren telah dianggap sebagai bagian strategis dalam setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukan hanya menggerakkan dirinya pada satu domain gerakan dalam konteks pengembangan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga telah dijadikan sebagai media yang sangat luas, yaitu pesantren menjadi agen gerakan perubahan dan perlawanan yang secara istiqomah dilakukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan posisi multi yang diperankan ini, semakin memperjelas bahwa pesantren tidak hanya pas dianggap sebagai sub kultur bangsa Indonesia atau institusi pendidikan, tetapi juga menjadi pialang gerakan perlawanan dalam melawan setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh para penjajah, serta aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang lain.
Dalam tulisan ini secara spesifik akan difokuskan pada satu sisi dari pesantren : ia sebagai lembaga pendidikan yang memiliki posisi strategis untuk menjadi lembaga paling absah dalam menggerakkan dunia pendidikan, setidaknya sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang melekat di dalamnya, dan diyakini dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif, pada saat lembaga-lembaga pendidikan yang lain mengalami goncangan memprihatinkan, akibat perilaku amoral dan free seks yang dipraktekkan oleh peserta didik. Kasus-kasus asusila dan amoral dalam dunia pendidikan yang berungkali terjadi, merupakan bukti sangat sederhana tentang hancurnya proses-proses pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa ini.
Karena pendidikan dengan demikian tidak dapat menjadi jembatan pembebasan dalam segala aspek, seperti yang memang menjadi tujuan substansial dari pendidikan. Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita melalui praktek-praktek amoral tersebut menjadi indikasi nyata tentang gagalnya pendidikan untuk mencapai target ideal, bahwa arah pendidikan pada hakikatnya bukan hanya diarahkan untuk melahirkan insan-insan berintelektual an sich, tetapi yang paling mendasar adalah pendidikan sejatinya harus dapat melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas moral yang dapat dipertanggung jawabkan. Kenyataan memprihatinkan hancurnya moralitas pendidikan tersebut, sudah tentu menjadi sesuatu yang sangat mengganggu dalam proses pendidikan yang dikembangkan.
Pada wilayah ini, pesantren menjadi rujukan yang sangat signifikan, karena jelas, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tetap dengan tegas menjadikan nilai-nilai keagamaan menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan potensi besar yang diharapkan dapat menjawab problematika moral pendidikan yang terjadi hari ini. Artinya, mencari jawaban atas problematika pendidikan yang demikian, pesantren tetap diharapkan menjadi alternatif dengan sekian nilai keagamaan yang menjadi ajaran utama di dalamnya.
A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan (Mempertegas Tradisi yang Unik)
Sebagai lembaga pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai keunikan, pesantren memiliki nilai tawar yang sangat strategis dalam mewarnai dunia pendidikan. Asumsi bahwa pesantren bukanlah merupakan sekolah, bukan suatu learning school, tapi lebih merupakan learning society, merupakan sisi unik yang dimiliki oleh pesantren, sebab disitu masyarakat bisa belajar dan menambah wawasan bersama. Hal Ini yang menurut hemat penulis yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain, karena pesantren tidak hanya sekedar menjadi lembaga pendidikan sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tetapi lebih jauh pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan masyarakat.
Proses pembelajaran bersama dengan penuh kebersamaan, seperti yang ditegaskan di atas merupakan sisi menarik dari kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Nilai-nilai kebersamaan dengan nuansa keterbukaan pembelajaran, semakin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dalam asumsi dari, untuk dan demi masyarakat, karena di dalamnya masyarakat dapat belajar bersama dan berproses bersama hanya dengan satu keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga lokal yang memiliki ikatan kebersamaan, itulah yang sampai kini menjadi kekuatan pesantren dalam sepanjang sejarah perjalanannya. Masyarakat dan pesantren bagaikan setali tiga uang yang tetap menyatu dan berkelindan, sehingga perubahan apapun yang terjadi, di tengah banyak lembaga lain tenggelam, pesantren tetap eksis dan survev.
Hal ini, semakin menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga dimana proses pendidikan masyarakat dengan tanpa ada diskriminasi dan distorsi menjadi potret tentang lembaga pendidikan yang menjadikan keterbukaan dan kesamaan sebagai kunci utama pengembangan di dalamnya. Artinya, pesantren secara langsung ataupun tidak lebih merepresentasikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam segala lintasan sosial, karena dapat belajar dan berproses di dalamnya dengan posisi dan derajat yang sama.
Dalam kerangka ini, pesantren secara otomatis telah masuk ke dalam salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran-peran strategis dalam mengawal terciptanya masyarakat yang terdidik dan masyarakat yang berpengetahuan sesuai dengan cita-cita UUD 1945 untuk membentuk manusia seutuhnya, terutama di tengah tantangan kemajuan bangsa-bangsa lain yang semakin dinamis dan cepat.
Bahkan seperti yang disinggung di awal tulisan ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika hidup yang terus bergulir, bagi pesantren telah menjadi tantangan tersendiri untuk segera berbenah dan membenahi segala kelemahan yang dimiliki, sehingga pesantren akan benar-benar terus dipercaya, bukan hanya oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat diperhatikan oleh komunitas di luar pesantren yang selama ini mengambil sikap apatis terhadap posisi pesantren. Dengan kata lain, sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang sangat mengental, pesantren sudah waktunya mulai menghilangkan asumsi hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tidak berkembang seperti lembaga-lembaga yang lain, akan tetapi pesantren sudah harus menampilkan diri sebagai lembaga pendidikan yang utuh : lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama, sehingga menjadi lembaga pendidikan yang sangat utuh dan bisa mengawal perubahan dengan maksimal.
Dalam keterkaitan ini, asumsi unik tersebut sudah harus dikembangkan ke arah yang lebih unik lagi, kalau pesantren selama ini hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang tradisional dengan pemaknaan yang kaku, ke depan pesantren harus mampu mendongkrak asumsi baru, selain tetap menjaga tradisi dan sistem yang ada, pesantren harus mampu menyesuaikan dengan sistem baru yang searah dengan jarum-jarum perubahan. Sistem lokal yang menjadi identitas pesantren harus tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata terhadap hal-hal baru yang dianggap akan mampu memperlebar kiprah pesantren dalam melahirkan out put yang menjanjikan. Karena apapun yang dimiliki dan dikembangkan oleh pesantren pada hakikatnya merupakan kekayaan lokal dan tidak boleh menghilang dari kehidupan bangsa ini.
Akan tetapi, bukan berarti pesantren harus menutup mata dan menolak adanya sistem baru yang notabene datang dari luar pesantren dengan alasan yang sangat klasik hanya karena bukan asli sistem pesantren. Asumsi tersebut, yang setidaknya merupakan penerjemahan dari adagium lokal pesantren al-mukhafadzotu ala qodimis salih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara tradisi lama yang sudah berkembang sejak awal pesantren ada, dengan tetap secara kreatif dan kritis terhadap perkembangan baru yang bernilai baik). Dengan paradigma yang demikian, pesantren akan tetap menjadi lembaga unik yang tetap istiqomah menjaga nilai-nilai lokal yang dimiliki sebagai kekayaan luhur, namun di sisi yang lain, pesantren tidak pernah menutup mata atas setiap hal-hal baru yang secara faktual akan dapat menjadi nilai tambah bagi kemajuan pesantren dalam berdialektika dengan setiap perubahan yang terjadi. Sebab, dalam hal memelihara tradisi, pesantren sangat konsen dan istiqomah.
Kenyataan ini yang tercermin dalam pandangan Gusdur, seperti dikutip Abdurrahman Mas'ud M.A, Ph.D :
Ide "pelestarian budaya" terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan dalam lembaga pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, dan langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kiyai. Isi ajarannya, berupa kitab-kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) jelas menjanjikan kesinambungan the right tradition atau al-qadimi ash-shalih, dan memelihara ilmu-ilmu agama yang telah diijazahkan secara luas kepada masyarakat Islam oleh para ulama' besar pada masa lalu.
Dalam konteks ini, posisi pesantren sebagai lembaga yang sangat unik akan tetap menemukan relevansinya. Pesantren akan tetap terbaca sebagai lembaga yang selalu sejalan dan kukuh dalam menjaga identitas dirinya dalam setiap perubahan yang terjadi. Hal ini, juga dipertegas oleh satu asumsi : Pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam perspektifnya pondok pesantren selalu menampakkan wajah ambi dixtorus, cakap menggunakan dwi arti untuk kondisi-kondisi tertentu dengan sama baiknya. Setiap orang mengenal bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan klasik yang mungkin paling tradisional di negeri ini. Akan tetapi, melalui kebanggaan tradisionalitasnya, tidak dipungkiri, pondok pesantren justeru semakin survev, bahkan kadang dianggap sebagai alternatif di dalam glomouritas dan hegemoni modernisme yang dalam waktu bersamaan mengagendakan tradisi sebagai masalah.
Maka nilai-nilai tradisionalitas yang menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi landasan bergerak pesantren dalam setiap perjalanannya, karena dengan tradisionalitas itulah, pesantren mampu bertahan menjadi lembaga yang sangat fenomenal dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya akan dibaca sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga acapkali menjadi pemain dalam setiap perubahan yang akan terjadi.
Dalam konteks ini, Gusdur juga memberikan apresiasi yang cukup panjang. Menurutnya :
Struktur pengajaran yang unik yang dimiliki pesantren, tentu juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Diantara pandangan hidup yang akan dihasilkannya adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama dalam pandangan sudut material, asalkan pandangan ukhrowi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan. Walaupun kedengarannya cukup aneh dan penuh gema sikap fatalistis, pandangan hidup semacam ini memiliki segi positifnya sendiri : kemampuan menciptakan penerimaan perubahan-perubahan status dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibelitas para santri untuk menempuh karir masing-masing kelak. Sebab itu, ukuran santri dalam studi kepesantrenan tidak semata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam memahami dan menguasai kitab kuning dan pengetahuan lainnya. Lebih dari itu terletak pada relasi yang dijalin oleh santri dengan kiyai, sesama santri dan lingkungannya. Akibat dari konstruk tata nilai pesantren seperti ini, tidak heran manakala muncul pemimpin non-formal berkaliber nasional dari kalangan pesantren yang tidak jarang mampu mengungguli dan lebih berpengaruh daripada pemimpin formal yang memang tidak dicetak dalam lingkungan pesantren.
Hal itu menunjukkan akan kiprah besar pesantren yang signifikan. Peran-peran besar yang dilahirkan oleh pesantren dalam tataran nasional, pesantren tetap memiliki peluang yang sangat besar. Walaupun, dengan tetap menjaga nilai-nilai dan identitas yang dimiliki, salah satunya bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh pesantren harus tetap diperhatikan, karena itulah sejak awal pesantren terbentuk yang menjadi ciri khas pesantren. Kekayaan potensi yang dimiliki pesantren secara faktual menjadi modal dasar bagi pesantren untuk meneguhkan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang lebih siap memberikan yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia.
Pesantren tidak hanya sebagai pelengkap lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi lebih jauh dari hanya sekedar itu bahwa pesantren memiliki posisi yang sangat fundamental dan strategis dalam menopang kebutuhan pendidikan bangsa dengan out put yang bisa diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, karena seperti yang ditulis Gusdur di atas dengan konstruk tata nilai yang dimiliki, pesantren kadangkala mampu menjadi lembaga pendidikan yang dapat mengalahkan lembaga pendidikan lain dengan out put yang bisa memainkan peran-peran strategis baik lokal, regional, nasional maupun internasional.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah dapat menanamkan perannya yang tidak sedikit dengan segala potensi yang dimiliki, hanya saja persoalan yang kemudian dapat dimunculkan adalah bagaimana dapat menemukan format sangat ideal tentang pendidikan pesantren dalam kerangka membawa pesantren ke arah yang lebih menjanjikan. Lembaga pesantren yang notabene merupakan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang tidak hanya secara sempit memposisikan diri dalam menggerakkan dunia pendidikan guna memenuhi kebutuhan bangsa ini menghadapi era kesejagatan dengan kemajuan-kemajuannya yang luar biasa.
Hal ini muncul karena selama ini pesantren dipandang sebagai lembaga yang tidak pernah mampu menatap masa depannya dengan jernih. Pesantren masih tetap asyik dengan stigma tradisionalnya, sehingga tidak hanya melihat dengan sebelah mata : sebagai lembaga pendidikan yang sangat tradisonal dan tidak bisa dijadikan peta dalam melihat tantangan kehidupan yang sudah sangat jauh beranjak. Artinya, pesantren tidak bisa diharapkan dapat melahirkan out put yang dapat dipertanggung jawabkan atas nama kemajuan dengan sistem dan model pendidikan yang sangat klasik.
Akibatnya, pesantren dianggap sebagai lembaga sangat lokal yang selalu terbius dengan tradisi lokalnya, tanpa ada keinginan untuk sedikit maju, memoles sistem di dalamnya sehingga dapat memberikan sesuatu yang sangat berarti, terutama dalam konteks melahirkan hasil yang salihun li kulli zamanin wa makananin. Yakni, melahirkan generasi-generasi yang siap memposisikan diri dan diposisikan sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan era global. Karena tantangan globalisasi dengan segala implikasi sosialnya, tentunya membutuhkan jawaban yang nyata. Tugas besar pendidikan pada gilirannya adalah melahirkan out put yang mampu menjawab kebutuhan global dengan kualitas, skill dan kompetensi yang jelas, sehingga dunia pendidikan (pesantren) tidak hanya akan melahirkan generasi-generasi yang terkorbankan dan terjajah di bawah kemajuan kehidupan global, tetapi mampu memproduksi generasi-generasi masa depan yang memiliki kemampuan yang sejalan dengan kebutuhan era globalisasi.
Kenyataan inilah, yang menurut hemat penulis penting untuk dibaca dan dibuka kembali terkait dengan pesantren sebagai khazanah yang unik. Penulis melihat ke depan pesantren sudah harus mampu meletakkan dirinya secara agresif, sehingga dapat menjadi lembaga yang tidak hanya terbaca dengan sebelah mata, tetapi sudah waktunya dapat menunjukkan pada bangsa ini bahwa pesantren yang digali dengan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang selalu haus akan kemajuan, terutama dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di dalamnya. Sudah bukan waktunya pesantren hanya bersikap statis dan rigid serta hanya menjadi pemberi dukungan terhadap segala proyek perubahan di masa ini, tanpa ada geliat untuk memainkan perubahan-perubahan tersebut dengan kreatif dan inovatif.
Dengan potensi yang dimiliki, pesantren semestinya lebih proaktif menjadi pemimpin dalam setiap perubahan melalui media kultural yang selama ini dilakukan. Apalagi bagi bangsa yang tengah mengalami degradasi moral dan kehancuran tatanan nilai moralitas dalam semua aspek, terutama dalam dunia pendidikan dan out put yang dilahirkan. Maka eksistensi pesantren dengan sistem yang ada, sekaligus dengan nilai-nilai khas pendidikan keagamaan yang dimiliki dapat memberikan harapan baru bagi bangunan pendidikan bangsa ini. Eksistensi pesantren bagaimanapun merupakan bagian yang –juga- sangat strategis dalam menopang pembangunan pendidikan nasional, yang harus dibangun dan dikembangkan., karena pendidikan pesantren sampai kini lebih dikenal sebagai lembaga yang independen dan mampu mengurus keberadaannya secara mandiri akan lebih leluasa dalam menentukan arah pendidikan yang diharapkan. Yakni, lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai agama serta tetap mampu menatap masa depannya dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian.
B. Pesantren Sebagai Khazanah Potensial (Mengembangkan Potensi)
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang otonom atau lembaga yang qiyamuhu bianfishi ; berdiri sendiri, yang artinya segala sesuatu diurus oleh pondok, dan tidak diorganisasi sebegitu rupa. Akan tetapi lebih banyak sebagai living organism, organisasi yang hidup dan tidak memerlukan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri dengan kenyataan yang demikian, pesantren tetap memiliki beberapa kelemahan, antara lain pada sistem pendidikan, baik pada kurikulum, metode, sarana maupun prasaranya. Walaupun hal itu, sejak beberapa tahun terakhir telah mulai diperhatikan oleh kalangan pesantren untuk diperbaiki.
Kesadaran tuntuk terus mengembangkan potensi pesantren tersebut, dalam kerangka memenuhi kebutuhan riil masyarakat di sekitar pesantren akibat pengaruh majunya kehidupan yang menuntut pesantren harus menata ulang strategi pengembangan pendidikannya, sehingga pesantren akan terus dinamis dan dialektis, dengan tetap tidak menafikan nilai-nilai lama yang menjadi identitas pesantren sendiri.
Pesantren yang notabene sangat akrab dengan masyarakat dan menjadi dambaan mereka akan dapat dipertanggung jawabkan. Artinya pesantren, bukan hanya menjadi lembaga penampungan dengan sistem pembelajaran yang statis dan apatis terhadap perkembangan, tetapi juga mampu menatap kemajuan dengan kritis, sehingga pola-pola pembelajaran yang dikembangkan senantiasa salihun dengan kebutuhan bersama secara global. Pesantren bukan hanya menyediakan satu menu bagi para santrinya, tetapi harus mampu merubah dirinya menjadi toserba yang menyediakan banyak kebutuhan bagi para santri.
Dari sinilah, sistem pendidikan juga harus dirujukkan, sehingga pesantren akan senantiasa senafas dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat global ; dimana nilai-nilai moral keagamaan yang menjadi identitas pesantren tetap utuh, sementara skill dan wawasan umum para santri juga menjadi pertimbangan pesantren. Sebab, memasuki abad XXI, yang diiringi oleh ketidak pastian global (Global Uncertainty) dengan ditandai perubahan paradigma ilmu dan teknologi disertai kompetisi di segala bidang, tuntutan kompetisi inilah yang harus menjadi pijakan pesantren dalam meningkatkan daya saing agar tetap eksis dan mampu melahirkan kader-kader yang marketable.
Bahkan lebih jauh lagi, pesantren diharapkan dapat berperan sedemikian rupa dalam memberikan dukungan sosial bagi pembangunan yang bersifat indigenous, asli, sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan tersebut semakin besar. Sulit kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan telah mengakar sangat kuat. Pesantren adalah potensi dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga kelestariannya. Karena penghargaan terhadap tradisi pada hakikatnya merupakan bentuk komitmen cinta terhadap budaya bangsa yang ada.
Lembaga pesantren yang otonom, besar dan bergerak karena faktor masyarakat bawah, harus tetap dijaga identitasnya dan secara terus menerus untuk dikembangkan, sehingga mampu menjadi lembaga yang betul-betul memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa dan negara. Karena dengan cara yang demikian, target untuk melahirkan generasi-generasi yang Ber-IMTAK dan Ber-IPTEK, akan dengan mudah dilahirkan – khususnya- oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.
C. Revitalisasi Potensi Pesantren (Menatap Masa Depan)
Seperti yang sudah penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan bagian dari komunitas yang sudah jelas menyimpan banyak potensi yang harus dikembangkan dan diberdayakan sesuai dengan tuntutan kehidupan. Pesantren sebagai lembaga alternatif dan sangat dekat dengan kehidupan mayarakat, terutama masyarakat bawah harus dijadikan perhatian dan pertimbangan bersama, bagaimana ia dapat dikelola dengan proses pengelolaan yang dinamis dan modern, dan pada akhirnya dapat memberikan kepuasan bagi masyarakatnya.
Sebab bagaimanapun, sistem dan strategi pengembangan yang dilakukan akan tetap memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pesantren, terutama dalam hal melahirkan generasi-generasi yang berbobot dalam semua hal, bukan hanya bobot intelektual, skill tetapi juga bobot moral yang notabene menjadi kebutuhan sangat vital bagi bangsa Indonesia. Dan pesantren memiliki itu semua, tergantung sejauh mana potensi yang ada dapat difungsikan secara maksimal.
Perkembangan dunia telah melahirkan kemajuan zaman yang luar biasa (modern). Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha konstektualisasi bangunan-bangunan sosio kultural dengan dinamika modernisasi, tidak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren, karena itu, maka sistem pendidikan pesantren harus melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survev. Dengan kata lain, sudah waktunya pesantren untuk mengerahkan segala potensi yang dimiliki dan membuka ruang yang lebar terhadap sistem-sistem baru yang sejalur dengan nafas pesantren. Pesantren harus mampu melihat setiap perubahan yang terjadi di luar dirinya, sehingga pesantren akan selalu mampu membaca dan merespon setiap geliat perubahan yang dilahirkan oleh perkembangan zaman dengan cepat.
Dalam keterkaitan ini, kesadaran yang sangat kreatif tersebut, pada gilirannya meniscayakan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat memberdayakan diri dalam usaha pengembangan sumberdaya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang tampak semakin kompleks. Pola kerjasama meniscayakan minimalisasi, asumsi-asumsi negatif yang diletakkan pada pesantren ; terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderung mempertahankan status quo.
Pesantren akan selalu menjadi pusat gerak dan pusat pertahanan dari serbuan hegemoni globalisasi kehidupan yang mengajarkan tentang imperialisasi dan kolonialisasi dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek budaya dan pendidikan. Maka sistem pendidikan yang berkembang dan dikembangkan oleh pesantren, dengan ciri keagamaannya ke depan dapat memberikan jawaban yang sangat konkret bagi kebutuhan era global. Maka, revitalisasi potensi dan sistem pendidikan, secara substansial menjadi keniscayaan yang pasti. Yang dibutuhkan dalam hal revitalisasi adalah kesediaan pesantren untuk tetap secara kritis membaca kebutuhan masa depan dengan logika-logika yang taktis dengan melahirkan out put-out put yang selalu siap melawan arus kemajuan. Artinya, sistem pesantren harus diletakkan dengan paradigma baru sebagai media untuk melahirkan generasi-generasi berkualitas total yang siap menerjemahkan dirinya dengan segala tantangan yang terjadi.
Sebab, kegagalan pengembangan SDM masyarakat tentunya juga akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pesantren mampu menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan yang memiliki arah dan tujuan yang jelas ; bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga penggemblengan moral kader, tetapi juga merupakan sarana pembentukan wawasan, skil dan profesionalisme kader yang siap menyongsong perubahan dan kemajuan. Pesantren jangan sampai terjebak pada paradigma kaku menciptakan kader-kader sarungan berkelas lokal, akan tetapi pesantren harus mampu melihat dengan mata terbuka pada wilayah luas yang notabene lebih menantang, karena pola pemahaman yang demikian sama halnya dengan telah membiarkan pesantren terjebak dengan paradigma sebagai pabrik kader yang tidak siap melawan kemajuan dan secara tidak langsung telah menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Pesantren pada gilirannya akan tetap mabni dengan predikat klasik sebagai lembaga archaik yang tidak mampu menatap masa depannya dengan dialektif. Sangat mungkin generasi-generasi yang dididik dalam pesantren akan menjadi korban dari kemajuan dan keangkuhan peradaban modern. Akibat arah dan gerak pendidikan pesantren tidak lagi digerakkan dalam lingkungan ortodoktif.
Pesantren sudah waktunya berbenah dan menyadari hal ini, sehingga pesantren tidak akan lagi dikerangkakan sebagai lembaga pendidikan yang wujuduhu kaadami. Pesantren yang tidak mampu berdialektika dengan perubahan dan menjawab tantangan global. Pesantren jangan lagi dipahami sebagai artefak budaya yang rigid, tetapi sudah harus dipahami sebagai mobilisator perubahan yang siap mengantarkan santri-santrinya menjadi agen perubahan (agen of change) sejati, yang bukan hanya siap mentransformasi nilai, tetapi juga siap menjadi bagian aktif dari nilai itu sendiri. Dengan begitu, pesantren akan tetap menjadi pesantren yang tetap setia dengan garis perjuangan yang genuine sebagai lembaga pendidikan yang kreatif dan produktif yang pada gilirannya mampu memaknai konsep li yundziru qoumahum dengan sangat transformatif.
Untuk mewujudkan hal itu meminjam kerangka Dr. Ahmad Qodri A. Azizy, para pengelola pesantren dituntut untuk mampu mengantisipasi dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan sekaligus mengetahui arah dan sasaran kehidupan masyarakat. Adalah tidak mustahil bahwa sebagian masyarakat sudah mengalami perubahan pandangan terhadap keberadaan pesantren model kuno. Maka, jawabannya adalah bagaimana agar pesantren tidak ditinggalkan masyarakat, baik menyangkut sistem dan kelembagaan, pendidikan, maupun fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Pesantren harus mampu menata dirinya secara produktif dan kreatif dengan menyediakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pesantren harus mampu menatap masa depan dengan paradigma globalitas dimana setiap kemajuan yang dikembangkan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tradisi dan sistem murni pesantren tetap harus dipertahankan, tetapi pada sisi yang lain pesantren juga harus kritis dan taktis dalam memposisikan diri di tengah arus kemajuan yang sangat cepat melaju.
Dengan kesadaran dan persoalan yang serba kompleks tersebut, pesantren tidak cukup hanya mengandalkan sistem dan cara pandang klasik pesantren dengan menafikan sistem dan cara pandang yang agresif. Sebagai bagian dari sekian lembaga pendidikan yang ada dalam bangsa ini, pesantren juga sangat bertanggung jawab atas masa depan dan arah yang jelas bagi generasi yang dididik di dalamnya. Oleh karena itu, pesantren sudah waktunya menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia merupakan driving force (tenaga penggerak) untuk dan demi kemajuan bangsa Indonesia. Kemajuan zaman dengan segala tantangan yang dibawanya, bagi pesantren merupakan agenda tersendiri yang secara kritis harus dibaca dan dipikirkan. Dengan kata lain, pesantren tidak boleh hanya memandang masa lalu, tetapi harus peka dalam menatap masa depan dengan jernih.
PENUTUP
Mimpi besar di atas akan menjadi kenyataan apabila pesantren siap dan mampu melakukan banyak perubahan mendasar dalam diri pesantren. Sebab akar keterlambatan pengembangan out put pesantren selama ini ialah karena pesantren, masih tetap terlena dengan keyakinan egois bahwa pesantren adalah pesantren yang hanya memfokus gerakkan pada pengembangan moral dan ritual, bukan pada kerangka umum pesantren sebagai lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sang perubah dan kader baru yang siap tampil dalam segala lini kehidupan, sehingga tidak heran kalau pada gilirannya pesantren tetap terasumsi sebagai lembaga yang sangat tradisional alias terbelakang dari kemajuan hidup yang sangat cepat.
Usaha-usaha itu akan tercapai apabila pesantren siap melakukan beberapa hal, disamping harus tetap mempertahankan tradisi-tradisi khas pesantren yang bernilai aslah. Pertama, mengubah paradigma konsepsi ke transformasi-liberasi. Artinya, pesantren harus melakukan perubahan mainstream berfikir dari hanya memperbincangkan konsep iman individual menjadi iman sosial yang mengidealkan terciptanya karakter kader yang liberatif. Maka pola pengembangan dan pembelajaran harus diarahkan untuk membentuk kader-kader militan yang mampu melihat persoalan sosial sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dengan pendekatan yang rasional dan solutif, tidak membentuk kader-kader kaku yang hanya pandai mengembalikan persoalan-persoalan sosial pada pradigma yang sangat kaku dan tidak kritis.
Kedua, pesantren perlu menyadari tentang pentingnya pengembangan wawasan kreatif dan skill profesional santri secara konkret sekaligus dengan sangat kritis menyadari tantangan global yang sangat keras. Maka yang harus dilakukan ialah pesantren bukan hanya harus menyediakan pola pengembangan keilmuan santri terbatas pada pengajian kitab kuning an sich, tetapi perlu adanya pola pengembangan baru yang lebih konkret dan langsung menyentuh pada skiil mendasar santri yang arahnya pada profesionalisme santri. Pelatihan-pelatihan konkret yang sekiranya akan menjadi kebutuhan riil santri di pentas kehidupan global harus dijadikan sebagai sesuatu yang juga sangat afdhol, sehingga nantinya akan mampu melahirkan “santri baru” yang siap berposisi dan diposisikan dalam wilayah apapun, bukan santri “bingung” yang kehilangan keseimbangan dalam mencari posisi, dengan tetap tidak menghilangkan jati diri dengan identitas kesantriannya.
Ketiga, memberikan kebebasan berfikir yang kaffah. Sebab, kebebasan berfikir merupakan substansi dari semua pengembangan. Kebebasan berfikir berarti membuka ruang baru tentang masa depan dan kreatifitas santri untuk menjadi lebih baik dan berkembang. Pesantren tidak harus mencurigai setiap geliat kreatifitas berfikir santri yang dihasilkan melalui proses pembacaan. Apalagi sampai menutup akses pembacaan terhadap buku-buku yang sangat kritis. Dengan kata lain, pesantren harus mampu memberikan rangsangan yang jelas terhadap santrinya untuk kritis, melalui keberagaman bahan bacaan yang dihasilkan melalui berbagai pendekatan, dan pada gilirannya akan melahirkan kader-kader kreatif-kritis yang kaya dengan wawasan dan pengalaman.
Dengan modal-modal tersebut, pesantren akan dapat menjadikan dirinya sebagai pesantren yang dialektif dan mampu mengikuti perubahan dengan baik. Pesantren dengan demikian, tidak akan lagi termangu melihat kemajuan dengan ribuan santri yang dikorbankan, tetapi pesantren yang telah dengan gagah mampu menampakkan kader-kader kreatifnya untuk maju bersama dengan bekal yang jelas menggapai posisi strategis dalam kehidupan apapun dan dimanapun. Sehingga peran dan fungsi kehadirannya akan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pesantren dengan misi ideal yang demikian akan dibaca dan terbaca dengan serius dalam sepanjang zaman. Itulah pesantren yang sebenarnya. Pesantren yang tetap memelihara tradisi yang ada, namun juga tidak gagab dalam mengikuti perubahan. Pesantren yang tetap terpesantrenkan.
Akhirnya, tulisan ini hanya tawaran sederhana terhadap pesantren untuk dipertimbangkan. Penulis hanya ingin mengatakan satu hal bahwa pesantren harus mampu mencetak kader-kader yang serba bisa bukan hanya kader yang pintar dalam satu bidang an sich, tetapi santri yang memiliki kemampuan di bidang-bidang yang lain. Itulah tipologi santri masa depan yang harus berhasil diproduk oleh pesantren.
Daftar Pustaka
Aminoto Sa'doellah "Pendidikan Cap Sarung : Wacana Keilmuan Pesantren, Nalar Kritis, dan Kepekaan Sosial Santri", dalam GERBANG, Jurnal Pemikiran Agama Dan Demokrasi, vol.. 06. No. 03. Pebruari-April 2000. hlm. 67
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta, LP3ES, 1982) hlm. 44
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos politik Santri (Yogjakarta, SIRPRESS, 1992) hlm. 1
Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII
Dr. Ahmad Qodari A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta, LKiS, 2000) hlm. 96
Bisri Effendy, Annuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990)
Paulus Mujiran, Pernik-Pernik Pendidikan Menefestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 107
Mohammad Suhaidi RB. " GURU DAN OTONOMI PEMBELAJARAN : Meretas Pendidikan Bervisi Global", dalam Majalah RETORIKA,,Edisi 1/TH. I/2005, hlm. 25
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Yogjakarta, IRCiSoD, 2004), hlm. 95
Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D, Intelektual Pesantren : Perhelatan Agama dan Tradisi (Ypgjakarta, LKiS, 2004), hlm. 11
Marzuki Wahied, dkk (penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 145-146
Prof. H. Abdurrahman Mas’ ud, Ph. D, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang. CV. Aneka Ilmu, 2004), hlm. 30
Imron Arifin, "Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Pemikiran Wacana dalam Desentralisasi Pendidikan", dalam Jurnal Empirisma, Edisi I. No. 8 Tahun 2002, hlm. 24
Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta, Paramadina, 1997), hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar