Minggu, 29 Agustus 2010

Telaah Kritis Problematika Pemiskinan atas kebijakan negara

Ada ungkapan mengatakan, ketika kita berada di sebuah tempat luas yang dipenuhi kegelapan dan kekelaman, paling tidak kita perlu seribu lilin/sumber cahaya yang harus disediakan agar seluruh tempat tersebut bisa terlihat. Ungkapan ini tepat kita kaitkan dengan situasi bangsa dan masyarakat saat ini, yang coba disikapi dengan pelbagai upaya dan usaha untuk mengatasi masalah kemiskinan (pemiskinan) yang tak kunjung selesai. Memang sangat ironis, di balik kekayaan sumber penghidupan rakyat yang melimpah, negeri ini menyimpan wajah kelam dan hitam, sebagian besar warga atau masyarakat masih dirundung ketidakberdayaan (powerless) dan ketidakbahagiaan (unhappiness).

Secara kuantitatif, menurut data BPS tahun 2008, sekitar 34,96 juta penduduk Indonesia masih berada di garis hitam kemiskinan akibat pemiskinan, bahkan menurut catatan The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2009(2) angka kemiskinan di Indonesia sudah mencapai sekitar 40 juta jiwa. Kemungkinan juga angka ini bisa bertambah seiring dengan dinamika bencana ekologis yang terus mendera negara ini.

Jika kita periksa, ada kecenderungan upaya penanggulangan kemiskinan berbanding terbalik dengan peningkatan capaian yang dihasilkan. Ketidakselarasan ini bisa kita identifikasi dari kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan. Ada paradoks kebijakan yang terjadi. Ada kebijakan ganda yang sifatnya kontraproduktif, dan kebijakan satu sama lainnya saling menegasikan bahkan memperparah situasi. Prosentase peningkatan pengurangan angka kemiskinan atau pemiskinan yang dilakukan pemerintah Indonesia lebih rendah dibanding negara negara miskin Bangladesh. Setiap tahun, angka kemiskinan di Bangladesh berkurang sekitar 9% lebih tinggi dibanding Indoensia yang hanya 2,5%-5%.(3)

Selama kurun 5 tahun ke belakang, kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia sudah termuat dalam kerangka RPJMN 2004-2009. Namun seperti yang diungkapkan Ichsanudin Noorsy (2007)(4) bahwa program-program yang terdapat dalam RPJMN ini akan dipastikan gagal jika didasari konsepsi kebijakan ala neoliberal. Meski berbagai kebijakan, penataan kelembagaan dibentuk dan telah dikeluarkan beragam program seperti PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau BLT, P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis PNPM, program BOS, RASKIN, Askeskin, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dll namun belum mampu menyelesaikan permasalahan pemiskinan yang dialami oleh masyarakat.

Dalam catatan Sujana Royat (2009)(5), pada 2004, total anggaran untuk mengurangi kemiskinan mencapai Rp 19 triliun. Tahun 2005, dinaikkan menjadi Rp 24 triliun. Tahun 2006, ditingkatkan lagi menjadi Rp 41 triliun. Kemudian, tahun 2007 meningkat lagi menjadi Rp 51 triliun dan di tahun 2008 juga meningkat menjadi Rp 58 triliun. Jika kita akumulasi hampir 200 triliunan anggaran negara dikeluarkan untuk program-program tersebut. Namun, besaran itu tak sepadan dan sebanding dengan capaian yang diharapkan. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Sri Mulyani (2009)(6) meningkatnya tingkat penangguran terbuka dari 8,3% menjadi 8,9%, tingkat penurunan yang ditargetkan awal 2010 sebesar 11,5% justru meningkat menjadi 13,5%.

Kebijakan pun tidak hanya itu saja, anggaran untuk melakukan reformasi birokrasi untuk melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan daerah pun dikeluarkan, alhasil, angka kemiskinan tetap meningkat hingga mencapai 40 juta jiwa (INDEF, 2009), korupsi makin meluas ke tingkatan daerah, tumpang tindih kebijakan pun terjadi dan tak terhindarkan. Wajah pemiskinan pun tak berubah, tetap kelam dan semakin kelam, dan rakyat hanya menjadi objek penderita atas situasi ini.



Melakukan Pemetaan dan Evaluasi Kritis terhadap Kebijakan (Policy) Negara

Belajar dari pengalaman, kita perlu melakukan pemetaan atas situasi internal sosial secara lebih mendalam. Pemetaan bisa dilakukan dengan melakukan refleksi dan evaluasi atas 3 subtansi/ranah fundamental yang selalu menjadi instrumen atas praktik yang dilakukan yaitu ranah kebijakan, kelembagaan dan pemberdayaan (grassroot). Tiga ranah ini yang penting untuk dikaji karena ketiga ranah ini yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi dan secara langsung mempengaruhi upaya dan strategi penanggulangan pemiskinan sehingga program penanggulangan pemiskinan yang dilakukan selama ini tidak tepat sasaran, tidak bertahan lama, memaksakan dan tidak dapat diakses karena hambatan struktural. Selain itu, ada alasan lain, kemudian mengapa tiga ranah ini yang menjadi titik pijak pemeriksaan, di antaranya

1.Permasalahan kemiskinan merupakan problem struktural dan kultural yang melibatkan peran dan tanggung jawab negara dan masyarakat sehingga dimensi kebijakan baik regulasi amupun program penyelesaianya perlu diperiksa secara mendalam.

2.Desain kelembagaan adalah instrumen yang tidak bisa dipisahkan dalam skema kebijakan yang dikeluarkan. Dalam setiap kebijakan yang dirumuskan membutuhkan desain dan format kelembagaan yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan kebijakan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, beberapa kasus menunjukan, bahwa strategi penanggulangan kemiskinan di daerah kurang berhasil dilakukan karena kelembagaan yang dibentuk kurang berjalan. Sehingga perlu diperiksa masalah yang muncul dalam ranah kelembagaan ini.

3.Pemberdayaan komunitas (grassroot) adalah dimensi yang selalu menjadi nilai (value) sekaligus kerangka metodologi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan selalu membutuhkan prasyarat modal sosial yang bisa menjamin keberlanjutan program yang dijalankan.

a.Evaluasi Kritis atas Ranah Kebijakan

Dalam membaca peta pemiskinan di Indonesia, pelbagai kebijakan yang telah terumuskan dan terimplementasikan adalah situasi kritis yang harus diidentifikasi, dipetakan, dikaji secara mendalam saat ini. Pemetaan atas berbagai regulasi pusat/nasional dan daerah akan membawa implikasi pada totalitas penanggulangan atau penghilangan pemiskinan yang dilakukan. Beberapa catatan-catatan reflektif yang teridentifikasi, bahwa penanggulangan kemiskinan tidak akan berjalan dengan mulus jika kebijakan-kebijakan di level pusat /nasional yang menghambat penanggulangan kemiskinan itu sendiri masih berlaku dan dijalankan. Pemetaan kebijakan dilakukan karena ada banyak kebijakan yang kemudian membatasi bahkan menghilangkan aset dan akses masyarakat (miskin) itu sendiri. Memang ada juga kebijakan-kebijakan yang mendukung tapi kebijakan tersebut tidak secara langsung bisa menjawab akar maupun dampak pemiskinan yang terjadi.

Ada banyak kebijakan perundang-undangan atau regulasi yang menghambat upaya penanggulangan kemiskinan dan kedaulatan rakyat atas berbagai sumber kehidupan masyarakat saat ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Peta Regulasi yang Menghambat
No
Jenis Kebijakan yang Dikeluarkan
Regulasi yang Berkaitan
Implikasi dari Kebijakan yang Dirumuskan dan Dikeluarkan
1 Kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam (agraria)

1. UU No.41/1999 tentang Kehutanan

2. UU No.18/2004 tentang Perkebunan

3. UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air


- Isi UU ini sangat membatasi akses masyarakat untuk mengelola sumber-sumber penghidupan untuk seluas-luasnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

- Memperkuat sumber penghidupan dikuasai oleh privat dan oligarki Negara.

2 Kebijakan yang mengatur akses masyarakat terhadap modal atau keuangan
UU No.10/1998 tentang Perbankan


- UU ini mendukung praktik-praktik privatisasi.

- UU ini lebih memihak kepada pengusaha dan pemodal.

- Sistem dan aturan yang ketat dalam UU ini membatasi kelompok masyarakat dan masyarakat miskin mengakses finansial dan modal.
3 Kebijakan yang mengatur tentang penanaman modal, pertambangan minyak dan gas bumi


1. UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal

2. UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

3. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara


- UU ini lebih berpihak pada pengusaha/pemodal (asing) dan menguntungkan bagi pemodal-pemodal lama dan baru yang akan melakukan investasi di Indonesia.

- Lemahnya kontrol negara atas tata kelola sumber-sumber penting kehidupan.

- Peminggiran dan penghilangan akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupannya.
4 Kebijakan pendidikan nasional


1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2. UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
- UU ini membuka ruang terjadinya praktik komersialisasi dan liberalisasi sistem sektor pendidikan.
5 Kebijakan ketenagakerjaan
UU No.1/2003 tentang Ketenagakerjaan
- UU ini belum menjamin perlakuan adil bagi para buruh.



Sebagai ilustrasi, kasus kemiskinan atau lebih tepatnya ”pemiskinan” di kawasan perkebunan dan kehutanan, salah satu faktor penyebab kemiskinan di kawasan tersebut rendahnya bahkan ketiadaan akses masyarakat terhadap basis produksi berupa tanah. Sejatinya, masyarakat (petani) yang berada di kawasan tersebut tidak bisa dipisahkan dari tanah sebagai sumber penghidupan.

Ilustrasi lainnya misalnya, di sektor ekonomi dan UKM, akses masyarakat selama ini sangat kecil dan rendah terhadap permodalan karena sistem perbankan yang masih diskriminatif terhadap usaha kelompok-kelompok usaha masyarakat. Walau ada kebijakan berupa strategi penanggulangan kemiskinan nasional (SPKN) dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan daerah (SKPD), namun kebijakan-kebijakan lainnya yang bersifat kontraproduktif jauh lebih banyak, yaitu kebijakan-kebijakan yang mengatur sektor perbankan, agraria, penanaman modal, UKM, pengelolaan sumber daya alam, kehutanan, dan perkebunan yang menjadi aras dominasi pemerintah pusat.


b. Evaluasi Kritis atas Kelembagaan

Menurut Sujana Royat (2008)(7), secara sederhana kita mengartikan kelembagaan sebagai ”aturan main” (rule of the game). Namun, sering kali kita salah kaprah menyamakan antara kelembagaan dengan organisasi, Padahal keduanya tidak identik, meski berkaitan erat. Mudahnya, kelembagaan sering kali diartikan sebagai software sedangkan organisasi hardware-nya.

Melihat begitu pentingnya peran kelembagaan, maka diperlukan sebuah pendekatan kelembagaan untuk mengatasi kemiskinan dengan menekankan pada bagaimana sumber daya sosial dapat ditumbuhkembangkan melalui perubahan dalam distribusi hak milik (property rights), batas-batas yurisdiksi dan aturan representasi untuk mengatasi kemiskinan (pemiskinan).

Merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan kelembagaan yang kuat baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu kelembagaan yang melekat pada SNPK adalah kelembagaan Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK) yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002.

Fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) adalah sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Bahkan untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.(8)

Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan.

Ada beberapa catatan-catatan evaluatif yang berkaitan dengan peranan kelembagaan terutama yang didesain oleh TKPK dalam kerangka penanggulangan kemiskinan, di antaranya :

1. Kelembagaan yang didesain TKPK masih didominasi oleh pemerintah yang satu sama lain memiliki kepentingan-kepentingan sehingga sulit untuk dikonsolidasi dan dikoordinasikan. Di level pemerintah pusat ada sekitar 22 lembaga departemen dan non departemen yang dilibatkan sementara pelibatan kelompok masyarakat atau CSO sangat minim. Di level daerah pun tidak berbeda jauh dinamikanya, Tim TKPD yang bekerja di kabupaten kota masih didominasi oleh pemerintah.

2. Kelembagaan penanggulangan kemiskinan terutama Tim TKPK masih bekerja secara parsial dan mekanis di level pemerintahan saja, padahal banyak kelembagaan-kelembagaan non pemerintah yang bekerja untuk pemberdayaan masyarakat namun belum dilibatkan secara aktif. Saat ini, banyak lembaga-lembaga non pemerintah yang bekerja dalam konteks pemberdayaan ekonomi masyarakat (miskin/dhufa) namun kelembagaan pemerintah belum secara optimal mengadopsi praktek keberhasilannya.

3. Konsolidasi kelembagaan TKPK daerah yang lemah, hal ini ditandai dengan lemahnya sinergitas Tim TKPKD dengan SKPD di daerah untuk secara kolektif merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Beberapa kasus di Kabupaten Bandung dan Gunung Kidul, Tim TKPD begitu sulit melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk mengawal pelaksanaan perda tentang Strategi Penganggulangan Kemiskinan Daerah.



c. Evaluasi Kritis atas Pemberdayaan Masyarakat (Grassroot)

Pemberdayaan masyarakat adalah instrumen pokok dalam mengatasi permasalahan pemiskinan. Pemberdayaan masyarakat mengandung dimensi yang kompleks, secara metodologis dalam praktiknya harus dilakukan secara intergral, organik bukan parsial dan mekanis. Karena permasalahan pemiskinan adalah permasalahan struktural dan kultural maka pendekatan pemberdayaan masyarakat harus bisa memadukan dan memecahkan dua masalah utama tadi.

Dalam diskusi yang dilakukan dalam koordinasi program SAPA di Solo, Sapei Rusin menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat paling tidak mengarah pada 4 aspek yaitu tata kuasa, tata kelola, tata guna dan tata produksi. Aspek tata kuasa memastikan bahwa masyarakat atau komunitas memiliki hak kuasa atas sistem politik, ekonomi dan budaya dalam konteks pengelolaan sumber penghidupannya. Komunitas diberikan wewenang atau otoritas untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya. Setelah diberikan akses untuk menguasasi maka komunitas atau masyarakat harus diberikan akses untuk mengelola dan mendayagunakan segala sumber penghidupannya. Selain itu, pemerintah harus menjamin perlindungan atas tata produksi yang dilakukannya.

Ada bebarapa catatan yang bisa direkam dari praktik pemberdayaan yang dilakukan oleh pelbagai pihak yang baik pengurus negara maupun pelaku pemberdayaan masyarakat seperti kelompok masyarakat sipil, kelembagaan koperasi, organisasi masyarakat atau organisasi sektoral (tani, miskin kota dan miskin desa di antaranya adalah :

1. Pengurus negara cenderung menempatkan dan memposisikan masyarakat (kaum miskin) sebagai objek kebijakan dan pembangunan. Implikasinya adalah penguatan dan pemberdayaan masyarakat berjalan setengah-setengah, meminggirkan peranan komunitas yang relatif potensial dan telah berinisiatif melakukan upaya-upaya pemecahan masalah pemiskinan itu sendiri, pemberdayaan yang dilakukan tidak berbasis pada sistem pengetahuan yang tumbuh di masyarakat. Contoh program PNPM yang dilakukan di perdesaan telah membunuh institusi-institusi lokal yang berhasil bertahan seperti keberadaan koperasi-koperasi perdesaan yang telah diinisiasi oleh masyarakat setempat. Program PNPM justru sebaliknya, membuat kelembagaan seperti BKM dan KSM yang selama 5 tahun terbukti mengalami kegagalan.

2. Pengurus negara terjebak pada pola-pola pemberdayaan yang linier, mekanis dan parsial. Pemberdayaan seringkali terjebak pada pendekatan-pendekatan formal dan sektoral sehingga menimbulkan konflik kepentingan, terutama program-program yang dijalankan oleh SKPD yang bisa rutin dilakukan. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya cukup dengan pendekatan-pendekatan karikatif atau charity seperti pemberian modal usaha, atau intevensi penyediaan anggaran belaka. Di beberapa kasus menunjukkan bahwa perlu adanya terobosan solusi dan kebijakan yang mendukung pada penjaminan akses terhadap sumber-sumber produksi seperti tanah, air dan energi.

3. Pemberdayaan masyarakat belum mendukung kerja-kerja pemberdayaan komunitas miskin yang selama ini tumbuh atas inisiatif-inisiatif (modal sosial) komunitas itu sendiri seringkali membunuh ruang-ruang dan inisiatif lokal(komunitas) yang selama ini bermunculan. Kasus PNPM di perdesaan misalnya, pembangunan kelembagaan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan ala PNPM berjalan kurang ”sebangun”, beberapa kasus di perdesaan di Kabupaten Bandung misalnya, pelaku program PNPM membuat perencanaan desa secara sendiri tanpa dikoordinasikan dan dintergrasikan dengan perencanaan pembangunan yang telah disusun oleh pemerintahan desa.

4. Pengurus negara atau publik kurang mendukung pada penyediaan sumber-sumber daya bagi pemberdayaan masyarakat yang relatif sudah berhasil untuk berkembang seperti penyediaan akses informasi, akses modal sehingaa bisa diperbanyak secara adaptif dan diperluas ruangnya. Program KUR misalnya, persyaratan yang rumit dan birokratis menghambat kelompok masyarakat yang akan berusaha atau mengembangkan usaha-usaha ekonomi potensial.



Resolusi : Menata Kembali Kebijakan Negara yang lebih Memihak

Dari catatan-catatan kritis tersebut, akar persoalan pemiskinan adalah salah urus sumber penghidupan negara yang bersumber pada kebijakan. Maka, upaya penanggulangan pemiskinan memerlukan terobosan-terobosan luar biasa yang didasari oleh kebijakan-kebijakan negara yang lebih memihak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga atau rakyat (miskin), memperluas aset dan akses masyarakat (miskin) dalam tata kelola sumber daya kehidupan negara.

Ada beberapa resolusi yang bisa dijalankan yang mengarah pada penataan kebijakan negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Resolusi tersebut, yaitu :

1. Menata, mencabut dan mengubah regulasi-regulasi negara (perundang-undangan) yang menghambat pengelolaan sumber penghidupan oleh rakyat, baik regulasi sistem keuangan, sektoral maupun regulasi yang mengatur tentang tata kelola pemerintahan dan anggaran publik.

2. Pemerintah harus mendukung kelembagaan-kelembagaan masyarakat yang selama ini melakukan upaya-upaya mengatasi masalah pemiskinan, memfasilitasi kerja-kerja pemberdayaan masyarakat yang selama ini berjalan.

3. Pemerintah harus menyusun dan membuat kebijakan-kebijakan baru yang memastikan perlindungan dan mendukung entitas sosial di masyarakat dan inisiatif-inisiatif lokal di daerah yang melakukan upaya-upaya penyelesaian pemiskinan.

4. Pemerintah harus menyediakan alokasi anggaran seproporsional mungkin yang bisa diakses, dikelola dan dimanfaatkan oleh warga miskin secara mudah dan benar-benar menjawab permasalahan pemiskinan itu sendiri.

5. Mendesain ulang kelembagaan dan kemitraan strategis yang memastikan keberlanjutan kebijakan yang dijalankan.



Dadan Ramdan Harja adalah Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan dan Pusat Sumber Daya (P3SD) – Perkumpulan INISIATIF Bandung



Catatan kaki :

1. Catatan kecil Reflektif dalam kerangka mengkoordinasikan program penanggulangan kemiskinan di untuk merespon Permusaan Kebijakan RPJMN Tahun 2009-2015.

2. Laporan Hasil Kajian Tengah Tahun INDEF tahun 2009 dalam www.indef.org

3. Hasil Kajian Tim TKPKRI tahun 2009.

4. Judul berita evaluasi RPJMN 2004-2009 dalam http://www.suarakarya-online.com/news.

5. Sujana Royat dalam Tulisan “ Arah dan Strategi Baru dalam Penanggulangan Kemiskinan yang dimuat dalam http://catatan-sr.blogspot.com.

6. Sri Mulyani dalam pernyataan di Rapat Kerja dengan Komisi XI DPRI tahun 2009 yang dimuat dalam Harian Suara Karya Jakarta 2009

7. http://catatan-sr.blogspot.com/2008/08/fungsi-kelembagan-tkpk-dalam-pnpm.html, judul tulisan Fungsi Kelembagaan TKPK dalam Program Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri

8. http://tkpkri.org/sejarah-singkat-tim-koordinasi-penanggulangan-kemiskinan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar